Seniman Gayo Miliki Bakat Luar Biasa

Seniman Gayo Miliki Bakat Luar Biasa
Takengon, (Analisa)

Komunitas nyawoung Aceh berlael Joe Project meluncurkan album kaset lagu Gayo perdana yang bertajuk, "Jangin Gayo Denem Pulut Lengkawi" yang dinyanyikan penyanyi Gayo Ujang Lakiki. Pembuatan kaset lagu Gayo yang lahir dari inspirasi almarhum Ilyas pandai besi ini, diluncurkan awal Juni 2006.
Pimpinan Joe Project, Jauhari Samalanga pada acara syukuran yang dihadiri seniman Gayo dan pers di Voles Raja, Pegasing, Sabtu (3/6) menyatakan, seniman di Gayo memiliki banyak potensi dan bakat yang luar biasa.
Lagu-lagu yang lahir dari daerah dingin itu, tidak akan habis dinyanyi oleh keturunannya, karena lagu-lagu yang ada di Gayo melebihi jumlah masyarakatnya sendiri.
Dikatakan, album kaset Jangin Gayo "Ujang" memuat sepuluh lagu Gayo. Salah satu judul lagu, yakni Denem Pulut Lengkawi diangkat sebagai lagu sakral yang punya makna yang mendalam bagi masyarakat Gayo. Maknanya mengisahkan masyarakat pegunungan itu yang senang bekerja keras, berusaha dan mencintai perdamaian.
"Saya melihat kesenian yang paling kreatif di Aceh adalah kesenian Gayo. Selain disuruh oleh ayahanda saya yang baru saja meninggal untuk membuat album lagu Gayo, inspirasi juga lahir karena kecintaan saya akan Takengon," kata Jauhari Samalanga.
Sedangkan Lakiki adalah nama seorang seniman Gayo yang juga telah meninggal dunia. Bagi masyarakat di Gayo, Lakiki selain dikenal sebagai seorang seniman pencipta lagu Gayo, namanya juga dijadikan nama kelompok kesenian didong (irama musik yang dimainkan beberapa orang dengan menggunakan bantal dan tangan di Gayo-red). Beberapa seniman Gayo di antaranya, Juanda, Juhra turut mewarnai album Gayo ini.
Jauhari Samalanga mengakui proses album Gayo perdana dengan album musik kontemporer ini sangat miskin alat tradisi Gayo, bahkan beberapa alat musik dari Aceh seperti, Rapa’i dan Serune Kalee diikut sertakan.
Kerja kreatif Opay dan Dedy Fajar meramu musik sederhana itu ke dalam digital sehingga dijadikan simbol dan sound-sound tradisi yang ada sehingga menjadi album Gayo "Ujang" menjadi lebih unik.
Acara syukuran peluncuran album lagu Gayo "Ujang" di lokasi penjualan buah nanas itu diisi dengan doa, makan pulut dan atraksi seniman Ujang Lakiki serta beberapa seniman lainnya. Acara syukuran tetap meriah walaupun suasana saat itu hujan

Linge Group - Perdamaian

Untuk mendowload Lagu Gayo Disini,Clik kanan Save Target kalau di IE dan Di FF Save links As

Selamat Mendowload


Linge Group - Perdamaian
















Dene kubelang
Hikmah Stunami
Ine
Perdamaian
Riribong
Takengon
Wehni kanis Jungke


Ariga


http://fajriboy.wordpress.com

Gua Dan Ceruk

Gua Dan Ceruk Hunian Awal Di Tanah Gayo

SEJARAH kehidupan manusia dengan kebudayaannya di suatu daerah berbeda dengan lainnya, hal ini erat kaitannya dengan sisa kebudayaan masa lalu, atau memang wilayah itu tidak memiliki pembabakan masa yang lengkap dalam arti tidak pernah ada aktivitas atau dihuni pada masa tertentu.

Namun sejarah kehidupan manusia itu mengalami evolusi dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Dalam perjalanannya, berbagai unsur budaya mempengaruhi kebudayaan suatu daerah sehingga bentuk dan ragam kebudayaan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan dan juga masyarakatnya.

Demikian pula dengan Aceh, yang memiliki budaya sangat tinggi, paling tidak dari masuknya Islam sekitar abad 13 Masehi hingga sekarang. Jauh sebelum itu berbagai unsur budaya telah masuk ke wilayah Aceh, yang tentunya mempengaruhi berbagai corak budaya di wilayah ini. Sebut saja budaya Hoabinh dengan tinggalannya berbagai bentuk dan teknologi alat batu yang khas; Dongson, dengan teknologi logam perunggu, serta Hindu/Budha yang memberi warna kehidupan tersendiri bagi masyarakat Aceh.

Masih banyak yang berpikir bahwa kebudayaan yang mereka miliki adalah produk yang telah ada, padahal proses perkembangannya begitu rumit. Lihat saja bagaimana masyarakat mengetahui akan kebudayaan daerahnya, Takengon misalnya. Mereka cenderung mengenal kebudayaannya sebatas pada apa yang dilaksanakan saat ini. Sebagian masyarakat mengerti bagaimana perjuangan kelompok budaya baru dalam hal membawa Islam memasuki wilayah Gayo, yang mendapat banyak kesulitan dalam penyebarannya, atau bagaimana para pedagang asing yang mencoba memasuki wilayah Gayo untuk dapat berdagang komoditi logam (emas) langsung dengan masyarakat Gayo, namun mendapatkan hambatan dari pedagang pesisir. Semua aspek budaya yang melingkupi budaya kita sekarang ini hendaknya perlu direkonstruksi selengkap mungkin sebagai upaya lebih mengenal jatidiri budaya dan manusia pendukungnya.

Gua dalam kacamata Gayo

Pada masyarakat Gayo berbagai gua (loyang) mendapatkan tempat yang sangat strategis di tengah masyarakat. Paling tidak gua-gua yang ada sekarang dijadikan salah satu objek wisata selain Danau Laut Tawar. Adapun gua-gua itu di antaranya Loyang Puteri Pukes, Loyang Koro dan Loyang Datu.

Dalam folklor tempatan gua-gua tersebut memiliki berbagai nilai dan norma bahkan penggambaran kehidupan ekonomi masyarakatnya. Penggambaran tersebut kemungkinan erat kaitannya dengan fungsi gua di masa lalu atau paling tidak gua memiliki fungsi sebagai tempat hunian (seperti penggambaran folklor Putri Pukes yang tinggal di gua), atau gua berfungsi ekonomis (seperti folklor Loyang Koro, sebagai tempat perlintasan kerbau) mengingat sebagian aktivitas kehidupan berlangsung di dalam gua.

Mengingat folklor dapat berkembang dari masa ke masa sehingga memungkinkan penuturnya menambahkan dan mengurangi (mengilustrasikan) sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pemahamannya. Pada masyarakat tempatan cerita yang ada pada gua dianggap sesuatu hal yang dulunya benar-benar terjadi sehingga penonjolan cerita menjadi hal yang diutamakan bagi penjaga gua dalam upaya memberikan penjelasan bagi pengunjungnya.

Data Arkeologis
Survei Balai Arkeologi Medan, belum lama ini di gua-gua di Takengon yang sekaligus melakukan pengamatan di gua-gua yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa salah satu gua yaitu Loyang Putri Pukes masih menyisakan sisa-sisa hunian masa lalu. Adapun tinggalan itu berupa batu yang cekung pada bagian tengahnya yang menampakann bahwa batu itu digunakan sebagai landasan untuk menghancurkan bahan makanan. Jenis batu semacam itu sering ditemukan pada gua-gua yang dihuni manusia prasejarah atau juga banyak ditemukan pada tumpukan kulit kerang (bukit remis) yang merupakan sisa makanan manusia prasejarah di pesisir timur Pulau Sumatera.

Dari deretan perbukitan yang membentang hingga ke Loyang Putri Pukes yang jaraknya berkisar 1.500 meter dari loyang itu atau 2 km dari Kota Takengon, tim menemukan ceruk yang cukup ideal bagi hunian manusia parsejarah. Ceruk yang membenteng sepanjang 100 meter itu tidak hanya dekat dengan danau tetapi cukup tinggi dari permukaan tanah sekitarnya, sehingga ceruk tersebut benar-benar aman dari gangguan binatang buas. Lebar halaman ceruk berkisar 5 meter dengan kondisi datar dan di depannya merupakan tebing yang terjal dengan ketinggian sekitar 2 hingga 4 meter dari permukaan jalan.

Pada singkapan-singkapan di tebing ceruk itu ditemukan pecahan-pecahan gerabah dengan berbagai ukuran dan hiasan. Adapun hiasan gerabah yang ditemukan didominasi oleh ornamen dengan bentuk jala. Sedangkan yang lainnya berupa alat serpih dari batuan kuarsa susu dan beberapa fragmen tulang binatang. Hiasan jala semacam itu erat kaitannya dengan kehidupan masyarakatnya mengingat hiasan semacam itu banyak ditemukan di daerah-daerah pesisir yang artinya erat dengan aktivitas nelayan. Jadi memungkinkan bahwa manusia yang tinggal di ceruk-ceruk tersebut hidupnya banyak melakukan aktivitas menangkap ikan di danau yang jaraknya berkisar 100 meter dari mulut ceruk.

Kalau kita kaitkan dengan temuan alat serpih berbahan batu tersebut yang umumnya ditemukan pada situs-situs gua pada masa mesolitik memberi indikasi bahwa ceruk itu dihuni dari masa mesolitik hingga ke masa neolitik. Kejelasan akan kapan masa itu berlangsung atau kapan ceruk itu dihuni masih memerlukan penelitian dengan penggalian yang diikuti dengan analisa karbon. Kalau dibandingkan dengan temuan di bukit kerang (bukit remis) di pesisir timur Pulau Sumatera (diantaranya di Kabupaten Aceh Tamiang), dimana budaya gerabah itu berlangsung 3.000 tahun yang lalu sedangkan alat serpih itu umumnya memiliki masa yang lebih tua dari itu. Jadi ceruk itu menyimpan data kebudayaan yang penting bagi masyarakat Gayo yang perlu mendapatkan perhatian.

Waspada

Roh Didong Gayo

Roh Didong Gayo

Gayo selain sebagai sebuah etnis, juga merupakan sebuah ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Wilayahnya yang berada di dataran tinggi dengan Danau Laut Tawar, menunjukkan jatidirinya sebagai sebuah wilayah yang kaya akan keindahan alam juga budaya. Salah satu dari budaya Gayo yang utama adalah didong. Didong diperkenalkan oleh seorang tokoh bernama Abdul Kadir To’et. Didong berasal dari kata din dan dong. Din berarti agama dan dong berarti dakwah.

Dalam pemahaman yang lebih luas didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Jadi dalam menyampaikan dakwah, tokoh didong tidak hanya mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga dituntut mampu bersyair, memiliki suara yang merdu serta berprilaku baik. Pendek kata, seorang pedidong adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek. Dalam perkembangannya, didong pernah digunakan sebagai sarana hiburan bagi kolonial Jepang sewaktu pendudukan di tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius, tetapi permasalahan sosial juga dianggap perlu disyairkan. Seperti sejarah, alam lingkungan dan lain-lain.

Sesuai fungsi awalnya didong dipentaskan berkaitan dengan hari-hari besar agama Islam dan dalam perkembangannya dipentaskan pada acara-acara besar seperti perkawinan, penyambutan tamu atau hari besar nasional. Namun ide dasar akan dakwah tetap dipertahankan, hanya saja tidak materinya lebih berkembang. Berbeda dengan awalnya didong yang hanya dimainkan dengan penuh kesederhanaan baik dari sisi jumlah pelantunnya serta pengiringnya, sekarang didong umumnya dimainkan oleh sebuah kelompok yang jumlahnya mencapai 30 orang, termasuk di dalamnya penyairnya 4 sampai 5 orang dan selebihnya adalah pengiring. Kelompok didong umumnya adalah laki-laki dewasa, namun dalam perkembangannya ada juga kelompok didong perempuan dewasa dan ada juga kelompok didong remaja serta ada juga yang campuran. Kelompok didong campuran itu perempuannya biasanya hanya terbatas sebagai seorang penyair.

Didong umumnya dimainkan secara turun menururun artinya pemahaman akan budaya ini minimal ditularkan ke anak cucu. Didong dilantunkan semalam suntuk dengan iringan tepukan bantal dan tepukan tangan. Dalam perkembangannya ada juga menggunakan seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif sederhana yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping. Pada awalnya ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat Gayo diajak untuk hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, ada nilai-nilai kebersamaan namun yang terjadi adalah medernisasi akan pemahaman didong baik dari sisi pendukung maupun syairnya yang sering menyairkan potret prilaku muda-mudi, mencaci prilaku pemimpin ataupun ajakan untuk memilih partai tertentu dalam kegiatan kampanye atau digunakan sebagai sarana untuk mengumpulkan sumbangan.

Dalam konteks dakwah bagaimana ajaran-ajaran Islam dapat dipahami masyarakat dalam kondisi yang menyenangkan, sehingga tidak memunculkan keterpaksaan merupakan suatu strtegi yang baik bagi penanaman nilai-nilai agama. Didong pada masa sekarang lebih mengutamakan keseragaman gerak dengan pemaknaan yang dangkal. Perubahan budaya dapat kita mengerti sebagai sebuah gerak kehidupan sehingga didong mampu membawa penonton ke alam cehnya. Sehingga petuah atau kerinduan akan kampung halaman masih dapat dirasakan, artinya kebudayaan hanya tidak sekedar dimainkan tetapi diperlukan penghayatan sehingga lebih bermakna, sekaligus sebagai alat kontrol sosial bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

Sumber:Waspada

Syair Tari Saman

Syair Tari Saman Gayo

Tidak banyak saya jumpai teks yang memuat syair tari saman. Itu dikarenakan lagu-lagu yang dipakai pada tari saman tidak bersifat tetap (kecuali rengum). Dimana syair maupun iramanya berubah-ubah menurut tempat, waktu dan situasi pertunjukan. Sehingga tidak ada syair yang baku untuk tari saman.

Samanpun terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan tempat asalnya :

Saman Gayo di (Baca:Tanoh Gayo)
Saman Lokop di Aceh Timur
Saman Aceh Barat di Aceh Barat

Tema Syair pada tarian saman pada mula pertamanya adalah tentang dakwah atau ajaran agama. Pada perkembangan selanjutnya tema tersebut bertambah dengan tema-tema lainnya seperti tentang pertanian, pembangunan, adat istiadat, muda-mudi dan lain-lain.

Berikut adalah contoh syair-syair lagu pengiring tari Saman yang tema utamanya adalah tentang muda-mudi untuk masa pertunjukan selama kurang lebih 10 menit. Yang di susun berdasarkan urutan penyajian tari saman dan telah di terjemahkan kedalam bahasa indonesia.

Persalaman

1.Rengum/ Dering

Hmm laila la aho
Hmm laila la aho
Hoya-hoya, sarre e hala lem hahalla
Lahoya hele lem hehelle le enyan-enyan
Ho lam an laho

Aum/ Koor Aum
Hmm tiada Tuhan selain Allah
Hmm tiada Tuhan selain Allah
Begitulah-begitulah semua kaum Bapak begitu pula kaum ibu
Nah itulah-itulah
Tiada Tuhan selain Allah

1. Salam Kupenonton

Salamualikum kupara penonton
Laila la aho
Simale munengon kami berseni
Lahoya, sarre e hala lem hahalla
Lahoya hele lem hehelle
Le enyan-enyan
Ho lam an laho
Salamni kami kadang gih meh kona
Laila la aho
Salam merdeka ibuh kin tutupe
Hiye sigenyan enyan e alah
Nyan e hailallah
Laila la aho, ala aho

Salam Kepada Penonton

Assalamualaikum ya para penonton
Tiada Tuhan selain Allah
Yang hendak melihat kami berseni
Begitu pula semua kaum bapak
Begitu pula kaum ibu
Nah itulah-itulah
Tiada Tuhan selain Allah
Salam kami mungkin tidak semua kena
Tiada tuhan selain allah
Salam merdeka dijadikan penutupnya
Ya itulah, itulah, aduh
Itulah, kecuali Allah
Tiada tuhan selain Allah, selain allah

Uluni Lagu/ Kepala lagu

1. Asalni Kededes

Asalni kededes kedie
Asalni kededes ari ulung kele keramil
Sentan ire rempil kedie
Sentan irerempil he kemenjadi jadi bola
Asalni kededes kedie
Asalni kededes ari ulung kele keramil
Sentan irerempil kedie
Sentan irerempil he kemenjadi jadi bola
Asalni kededes kedie
Asalani kededes ari ulung ke le keramil
Sentan irerempil kedie
Santan irerempil he menjadi jadi bola
Inget-inget bes yoh ku ine e

Asal Bola Daun Kelapa
Asal bola daun kelapa kiranya
Asal bola daun kelapa dari daun kelapa
Begitu dijalin-jalin kiranya
Begitu di jalin-jalin ia menjadi-jadi bola
Asal bola daun kelapa kiranya
Asal bola daun kelapa dari daun kelapa
Begitu dijalin-jalin kiranya
Begitu di jalin-jalin ia menjadi-jadi bola
Asal bola daun kelapa kiranya
Asal bola daun kelapa dari daun kelapa
Begitu dijalin-jalin kiranya
Begitu di jalin-jalin ia menjadi-jadi bola
Ingat-ingat awas sayangku aduh ibu

1. Salam Ni Rempelis Mude

Oreno nge tewah ari beras beras padi
Ya hoya, oi manuk kedidi
He menjadi rem rempelis mude
Ne inget bes inget bes
Oi kiri sikuen kiri
Ara salamualaikum, rata bewene
Ara kesawah jamuni kami
Ne inget-inget bes yohku
Kuguncang male kuguncang
Salamualaikum rata bewene
Ne inget bes mien yohku
Ingatin bang tudung
Oi mude kin ulung mude
Ipantasan mulo

Salam dari Rampelis Mude (Rampelis Mude nama sanggar)
O runduk sudah rebah dari beras beras padi
Ya, begitulah oi burung kedidi
Hai menjadi Rempelis Muda
Oh ibu, ingat awas, awas
Oi yang dikiri dikanan-kiri
Assalamualaikum, rata semuanya
Adakah tiba tamu kami
Oh ibu, inga-ingat, awas sayangku
Ku guncang akan ku guncang
Assalamualaikum rata semuanya
Oh, ibu ungat awas lagi sayangku
Digantilah tudung
Oi muda untuk daun uda
Dipercepat dulu.

Lagu-lagu

1. Le Alah Payahe

He le ala payahe kejang
E kejang mufaedah payah musemperne
Enge ke engon ko kuseni ruesku
Senangke atemu kami lagu nini
Ine inget-inget bes mien yoh ku ine
Oho ingatin bang tudung uren
Awin gere kedie muselpak
Jangko gere kedie muleno
Beluh gere kedie berulak
Jarak gere kedie mudemu
Ine ilingang lingeken mulo
Yoh kukiri sikuen kiri
Tatangan katasan
Enti lale cube die ine
Awin gere kedie muselpak
Jangko gere kedie muleno
Beluh gere kedie berulak
Jarak gere kedie mudemu
Jadi bang mulongingku ine
O kejang teduhmi ningkah
Ike payah teduhmi kite
Ike gaduh tuker mulo

Aduh Payahnya
Hai, aduh payahnya, payah lelah
E, lelah berfaedah, payah memuaskan
Sudahlah kau lihat sendi ruasku
Senangkah kamu kami seperti ini
Oh ibu, ingat-ingat lagi sayangku, oh ibu
Oho, diganti dulu payung hujan
Di tarik, tidaklah nanti patah
Dijangko tidaklah nanti rebah
Pergi tidaklah nanti kembali
Jauh tidaklah lagi bertemu
Oh ibu, di goyang, di geleng dulu
Hai ke kiri, ke kanan-kiri
Angkatlah lebih tinggi
Jangan lalai cobalah dulu, oh ibu
Di tarik, tidaklah nanti patah
Dijangko tidaklah nanti rebah
Pergi tidaklah nanti kembali
Jauh tidaklah lagi bertemu
Cukuplah dulu adikku, oh ibu
Oh, capek berhenti dulu meningkah
Jika payah berhenti dulu kita
Jika letih tukar dulu

1. Balik Berbalik

Iye balik berbalik
Gelap uram terang uren urum sidang
Simunamat punce wae ala aho
He nyan e hae ala aho
Aho - aho - aho
Iye balik berbalik
Gelap uram terang uren urum sidang
Simunamat punce wae ala aho
He nyan e hae ala aho
Aho - aho - aho

Balik Berbalik
Iya ku balik berbalik
Gelap dengan terang, hujan dengan teduh
Yang nmemegang punca Dialah, Ya Tuhan
Itulah dia, ya Tuhan
Ya Allah - Ya Allah - Ya Allah
Iya ku balik berbalik
Gelap dengan terang, hujan dengan teduh
Yang nmemegang punca Dialah, Ya Tuhan
Itulah dia, ya Tuhan
Ya Allah - Ya Allah - Ya Allah

Penutup

1. Gere Kusangka

Gere kusangka, aha kenasibku bese
Berumah rerampe ehe itepini paya
Berumah rerampe ehe itepini paya
Suyeni uluh, nge turuh supue sange
Mago-mago bese aku putetangak mata
Mago-mago bese aku putetangak mata
Tetea tetar ahar reringe petepas
Gere kidie melas dengan naik iruangku
Gere kidie melas dengan naik iruangku

Tidak Kusangka
Tidak kusangka, aha kalau nasibku begini
Berumah rerumputan ditepinya rawa
Berumah rerumputan ditepinya rawa
Tiangnya bambu, sudah bocor atap dari pimping
Sulit-sulit begitu aku berputih mata
Sulit-sulit begitu aku berputih mata
Lantainya belahan bambu, dindingnya pun tepas
Tidakkah kiranya menyesal saudara naik kerumahku
Tidakkah kiranya menyesal saudara naik kerumahku

1. Kemutauh Uren

Kemutauh uren ari langit
Munerime kedie bumi
Kemutauh uren ari langit
Munerime kedie bumi
I nampaan ara baro renah
Cabang tewah ku lawe due
Ari abang gih mungkin berubah
Bier lopah itumpun kudede
Kemutauh uren ari langit
Munerime kedie bumi
Kemutauh uren ari langit
Munerime kedie bumi
I nampaan ara baro renah
Cabang tewah ku lawe due
Ari abang gih mungkin berubah
Bier lopah itumpun kudede
Kerna langkah ni kami serapah
Berizin mi biak sudere
Kesediken cerak kami salah
Niro maaf kuama ine

Jika Turun Hujan
Jika turun hujan dari langit
Menerimakah kiranya bumi
Jika turun hujan dari langit
Menerimakah kiranya bumi
Di nampaan ada waru rendah
Cabang rebah ke lawe due
Dari abang tidak mungkin berubah
Biar pisau tancapkan ke dada
Jika turun hujan dari langit
Menerimakah kiranya bumi
Jika turun hujan dari langit
Menerimakah kiranya bumi
Di nampaan ada waru rendah
Cabang rebah ke Lawe Due
Dari abang tidak mungkin berubah
Biar pisau tancapkan ke dada
Karena langkah kami segera bergegas
Mohon izin kepada sanak saudara
Sekiranya ucapan kami salah
Mohon maaf kepada ibu-bapak


Sumber:pusaka2.wordpress.[com]

ALA, Sejarah yang Terkoyak

ALA, Sejarah yang Terkoyak
Yusra Habib Abdul Gani

AKANKAH dua kuntum bunga ––Renggali-Seulanga–– rontok dari kelopaknya? Secara politis, bukan mustahil wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) akan terkoyak geografinya, seandainya pembentukan propvnsi Aceh Leuser Antara (ALA) menjadi kenyataan. PP No. 78/2007 sebagai pengganti PP No. 129/2000 dasar hukumnya.
Mekanisme perundang-undangan dan kemauan politik (political will) DPR-RI dan Pemda, sebelumnya tersandung. Penguasa NAD tak rela berpisah, sementara perwakilan dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, tak mau lagi tinggal serumah dan sudah berbenah ingin berpisah. Keengganan berpisah, mungkin karena alasan sejarah, sosial budaya atau ingin mempertahankan prestise rapuh (pragile prestige), yang seakan-akan perpisahan ini menggugat wibawa Pemda Aceh dan memperuncing perbedaan politik dan budaya antara komunitas Gayo dan komunitas Aceh Pesisir yang sejak ratusan tahun telah hidup bersama, senasib dan seperjuangan. Dalam konteks inilah yang diulas di sini.

Secara sosiologis, Renggali-Seulanga seumpama lirik lagu, yang baru bisa dinikmati lantaran paduan dari beberapa jenis instrumen musik yang saling mendukung. Berbeda bunyi tapi konsep dan kuncinya sama. Begitulah kehidupan politik dan sosial budaya antara komunitas Gayo dan Aceh Pesisir. Persis seperti diilustrasikan dalam lirik Didong (group Musara Bintang): "Renggali Megah i Bireuën, i Takéngon bunge Seulanga". Indikasi adanya korelasi ikatan sejarah dan sosial budaya yang menghubungkannya.
Perbedaan juga ada, misalnya: "Pakriban u meunan minjeuk; Pakriban du meunan aneuk" (Bagaimana Kelapa, begitu pula minyaknya; Bagaimana Ayah begitu juga anaknya). Sedang dalam falsafah Gayo; "Anakni reje mujadi kude, anak ni Tengku mujadi asu" (anak raja bisa jadi kuda, anak Tengku bisa jadi anjing). Model pertama mengikuti teori integral (pembulatan) , sedang model kedua mengikuti teori deferensial (relativitas) . Toh, dalam sejarahnya, kedua model ini bisa bersatu dalam adonan kimiawi sosial-politik, hingga mampu melahirkan bangunan negara "Aceh" di masa lalu.
Secara historis, Renggali-Seulanga bagaikan organisme tubuh yang saling ketergantungan. Hidup bersama dalam wadah Aceh, sebagai negara merdeka dan berdaulat. Fakta sejarah membuktikan bahwa, Sultan Aceh memberi hak penuh kepada raja-raja seluruh Aceh, untuk mengatur negeri masing-masing, termasuk memberi hak kepada Reje Linge untuk mencetak uang Aceh (Ringgit) yang dipercayakan kepada "Kupang Repèk" di Takéngon, khusus untuk keperluan hantaran uang dalam perkawinan dan transaksi perdagangan lokal. Hak ini diberi, atas pertimbangan sarana transportasi dan komunikasi yang sukar dijangkau pada masa itu. Reje Linge, akan melaporkan jumlah uang yang dicetak kepada Sultan Aceh. Ini merupakan fakta yang tidak kurang menariknya dalam sejarah Aceh.
Untuk melihat bagaimana membangun kepercayaan (trust building) antara Renggali-Seulanga, bisa dilihat dari fakta sejarah sebagai berikut. Meurah Johan Syah Al-Khahar (anak Raja Linge) misalnya, megah sebagai Renggali di Aceh Pesisir. Beliau diangkat menjadi Sultan Aceh Darussalam pada hari Jumat, 1 Ramadhan tahun 601-631 H (1205-1234 M) dengan gelar Sultan Alaidin Johan Syah. „Dalam Kerajaan Aceh Darussalam, yang akan menjadi rajanya ialah kebenaran, keadilan, persaudaraan, persamaan, perdamaian, keikhlasan dan cinta kasih dan siapapun tidak boleh memperkosa dasar-dasar ini" (Meurah Johan, Sultan Aceh Pertama. A Hasjimi. Bulan Bintang, 1976, halaman 103). Meurah Johan Syah sebagai panglima perang yang menaklukkan Johor dan Meurah Johan Syah-lah sebenarnya peletak dasar penyatuan seluruh Aceh (sebagaimana wujud sekarang). Sementara Ali Mughayat Syah –Sultan Aceh pertama– yang berkuasa tahun 1500-an dalam keadaan terima jadi.
Datu Beru –––sepucuk Renggali––– satu-satunya wanita yang duduk dalam Parlemen Aceh di masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah. Sebagai seorang filosuf, ahli hukum dan politisi kondang, beliau berani berhujjah dengan Qadhi malikul 'adil dalam kasus pembunuhan Bener Meria (anak kandung Meurah Johan) oleh Reje Linge ke-12. Teungku Tapa adalah Renggali yang harum di Aceh Timur saat peperangan melawan penjajah Belanda. Karena keberaniannya, hingga Komando Pusat Militer Belanda mempropagandakan bahwa Teungku Tapa enam kali mati.
Malik Ahmad, anak kandung Meurah Sinubung (cucu Munyang Mersa) diangkat menjadi Raja Jeumpa menggantikan mertuanya, karena berhasil menghentikan perseturuan antara kerajaan Jeumpa dan Samalanga. Meurah Silu, adik kandung Malik Ahmad, dilantik menjadi raja Pasé pertama, karena kualitas ketokohannya yang berhasil menghentikan perang antara Lhôk Sukon dan Geudông. Kata "Meurah" dalam bahasa Gayo, berarti "Malik" dalam bahasa Arab. Kata "Silu" dalam bahasa Gayo, bermakna "saléh" dalam bahasa Arab. Itu sebabnya, Renggali dari dataran tinggi Gayo ini kemudian populer dengan panggilan Sultan Malikussaléh.
Selain itu, Meurah Pupuk, yang mengembangkan agama Islam ke Lamno Daya; Meurah Bacang, yang mengembangkan agama Islam ke Tanah Batak; Meurah Putih dan Meurah Item (Hitam), yang mengembangkan agama Islam ke daerah Beracan Meureudu; Meurah Jernang, yang mengembangkan agama Islam ke Kalalawé Meulabôh; Meurah Silu (bukan Meurah Silu yang kemudian menjadi Raja Pasé), yang mengembangkan agama Islam Gunung Sinubung Blang Kejeren, adalah juga Renggali-Renggali yang megah dalam sejarah pengembangan Islam di Aceh. Sampai sekarang keturunan mereka masih memakai gelar "Meurah", yang berasal dari keturunan Munyang Mersa, nenek moyang orang Gayo.

Tokoh Gayo di atas adalah Renggali-Renggali berasal dari jenis benih unggul, yang watak dan kualitasnya melebihi standar umum dan dipandang sebagai representatif dari semua sebutan dan jenis Renggali yang kita kenal. Keharuman Renggali unggul ini menembus tembok sentimen sukuisme, clan, fanatisme dan ethnosentris yang kaku. Mereka mampu mengalahkan harumnya bunga-bunga dari jenis lain, sekalipun Seulanga di Aceh Pesisir, yang datang bertandang dari kaum minoritas, tetapi mampu bersaing secara sehat dalam kancah politik Aceh, megah dan dikagumi.
Sementara itu, figur Seulanga di Gayo lebih dikenal sebagai toke. Lintas-dagang antara dataran tinggi Gayo dan Pesisir sudah berlangsung lama sekali. Kita bisa saksikan, pusat perdagangan strategis di kota Takengon dan daerah sekitarnya, didominasi oleh saudagar asal Aceh dan imigran asal Minangkabau. Orang Gayo tidak merasa iri dan benci, walau wilayah kedaulatannya dicoup oleh asing. Selain itu, interaksi sosial terjadi karena hubungan perkawinan. Diakui bahwa, silang budaya seni antara Seulanga-Renggali tidak mungkin dipadu, tapi tidak pernah beradu. Perbedaan bahasa bukan faktor perenggang dan berinteraksi, karena bahasa Melayu dipakai sebagai pertuturan sehari-hari. Bahasa Melayu adalah bahasa resmi di Aceh dari zaman dahulu sampai sekarang. Surat-menyurat resmi, seperti: surat Panglima Polém Cs yang mengajak Teungku Tjhik Mahyuddin di Tiro menyerah pada tahun 1907 ditulis dalam bahasa Melayu Jawi, bukan bahasa Aceh.
Kisah di atas adalah khazanah cerita lama. Sekarang segalanya sudah berubah, terjadi globalisasi dan pergeseran nilai-nilai budaya yang terus menggerogoti keaslian budaya kita. Dan inilah kebodohan kesejarahan kita. Di kalangan komunitas Gayo, terjadi proses pemudaran (ubes). Renggali yang dahulu pernah mekar, kini tidak lagi harum di Aceh. Dalam konteks ini ada dua faktor penyebab. Pertama, faktor intern, yakni kurangnya penghayatan nilai-nilai sejarah Gayo dan masih mempertahankan nilai-nilai lama yang tidak seiring dengan tuntutan zaman. Padahal Tjèh Toèt pernah berdendang; "Tutu mesin gere mubelatah, mah ilen ku roda. Rôh ke lagu noya" (Padi yang digiling di pabrik sudah bagus, buat apa dibawa lagi ke Roda. Logiskah itu?) Secara pragmatis, Toét mengajak agar bersikap terbuka, kritis, peka dan cerdas membaca tanda-tanda zaman. Kedua, faktor extern, yakni munculnya krisis kepercayaan dengan menyekat Renggali-Renggali untuk berperan dalam jajaran birokrasi, khususnya di tingkat provinsi. Tindakan ini dilakukan secara sistematis lewat dominasi clan dan sentimen kesukuan terselubung. Misalnya saja, dari 21 gubernur Aceh (mulai Teuku Nyak Arief – 1945-1946 sampai kepada Irwandi Yusuf – 8 Februari 2007-2012), tidak sekuntum Renggali pun dipetik. Soalnya ialah tidak memenuhi standar verifikasi kualitas atau korban dari ketidakpercayaan? Hal ini perlu dikaji dan didiskusikan.
Yang menjadi kendala laten di kalangan kita ialah masih kentalnya budaya tabu dan "tak enak" mempersoalkan secara terbuka masalah politik dan sosial kemasyarakatan dalam urusan intern Aceh. Ini merupakan faktor penghalang untuk menyatukan persepsi tentang Aceh dalam arti perasaan memiliki dan tanggungjawab bersama. Jika nilai-nilai budaya tadi masih terus dipertahankan, sudah tentu melahirkan rasa cemburu dan praduga negatif antara sesama, sebab setiap institusi kemasyarakatan memiliki sentimen; rasa kebanggaan terhadap seni budaya, resam dan sejarah masing-masing.
Dalam kaitan itulah, orang Gayo merasa berjasa dalam sejarah kepemimpinan Aceh lewat Renggali-Renggali yang harum, tetapi tidak menduga kalau satu saat, jasa itu tidak dikenang dan tidak dihargai orang, lemas dalam cemas. Ketika tengah berada dalam situasi yang demikian, barulah orang Gayo nyeloteh; "Kusuen Lumu murip we kerlèng, kusuen budi murép we rèngèng" (Kutanam Keladi tumbuh juga enceng gondok, kutanam budi tumbuh juga lirikan sinis). Dalam dinamika sosial, melupakan jasa adalah sah-sah saja. Dalam pepatah Aceh disebut: "Leupah krueng, glung rakit" (Selamat ke seberang sungai, tendang rakit). Hal ini terjadi disaat Renggali
Akankah Renggali tidak megah lagi di Bireuen, dan Seulanga tidak megah lagi di Takengon? Secara politik-geografi akan terbukti seandainya provinsi ALA wujud. Jika kita mau jujur, kehadiran provinsi ALA sebenarnya konsekuensi logis dari prilaku kolektif, yang selama bertahun-tahun menabur ketidakpercayaan, pilih kasih dan ketidakadilan dalam konstribusi dan peluang berpartisipasi dalam birokrasi kepada non komunitas Aceh Pesisir.
Sekarang, tibalah waktunya kita menuai Provinsi ALA. Bersyukurlah! Mengapa mesti ditolak, dibenci dan munafik. Inilah hasil karya kita. Apalagi Provinsi NAD dan ALA berada dalam kandungan NKRI dan sama-sama satu Ibu dan menyusu kepada induknya - Jakarta. Malah sepuluh provinsi lain boleh saja lahir di bumi Aceh, yang pasti, Aceh sudah memiliki surat tanah -sertifikat- sebagai bukti sebuah negara berdasarkan peta yang dibuat dibuat oleh Inggeris tahun 1883 dan 1890. Ketahuilah Renggali selamanya akan mencintai Seulanga, tapi cinta tak mesti harus bersatu. Bukan?

Sumber:Serambi

Aceh Menggugat Aceh

Aceh Yang Menggugat Aceh
Oleh Eko Rusdianto

ARISDI DUDUK termenung di kursi merah dalam aula. Ia memakai baju coklat, berkantong depan. Celana pendek hitam. Ia tak menunjukan ekspresi seperti ratusan temannya: berteriak dan bergembira. Pandangannya lurus saja ke depan. Beberapa menit berlalu, ia mengutak-atik telepon genggamnya. Mengetik SMS. Entah pada siapa ditujukan.

Pukul 22.00, acara hiburan di aula itu dimulai. Beberapa kepala desa dan kepala mukim duduk melepas tawa, yang bisa nyanyi menyumbangkan suara. Ketika seorang dari mereka melenggok di atas panggung, yang lain bersorak, tertawa, atau bertepuk tangan. Riuh. Geuchik yang berdendang itu berjalan ke bibir panggung, membungkuk, dengan nada tinggi, ia menutup matanya, menikmati syair lagu.

Setelah lagu usai ia berteriak, “Hidup ALA-ABAS.”

“Insya Alllah,” sambut puluhan geuchik di bawah panggung, seraya mengacungkan tangan ke atas udara.

Arisdi hanya tersenyum kecil. Ia berdiri meninggalkan ruangan. Saya tetap memperhatikannya. Ia duduk di bangku depan aula. Mengeluarkan sebatang rokok lalu memantiknya dengan korek gas.

Arisdi adalah geuchik Bintang Kekelip, Kecamatan Atu Lintang, Kabupaten Aceh Tengah. Ada 79 keluarga di kampungnya. Ia datang ke Jakarta Jumat pagi, 14 Maret 2008, dari bandar udara Polonia Medan.

Setibanya di wisma Sekolah Luar Biasa Bagian A Tunanetra, Jalan Pertanian Raya, Lebak Bulus, Arisdi ternyata tak dapat memejamkan matanya meskipun kelelahan. Ia sangat gelisah. Waktu mengubah Jumat menjadi Sabtu. Enam rekan lain sudah terlelap. Satu kamar tujuh orang. Bila semua geuchik sudah hadir maka satu kamar itu akan bertambah penghuni menjadi 12-14 orang. Di atas kasur, ia terus berpikir. “Nda tahu lah, nda tenang saja waktu itu,” ingatnya pada saya.

Pagi pun tiba, sekitar pukul 10.00 telepon geggamnya berdering. Ia mengangkat. “Maaf Pak Geuchik, sebenarnya tak ingin mengganggu konsentrasi Bapak, tapi saya harus kabarkan,” kata M. Apit, komandan regu kepolisian Atu Lintang.

“Ada apa pak,” jawab Arisdi.

“Rumah bapak dibakar, tadi malam!”

Menurut laporan Apit, Jumat malam itu, warga Bintang Kekelip sedang terpulas. Tiba-tiba rumah Arsidi telah menjadi abu. Rata dengan tanah. Kejadian cepat sekali. Tak ada yang melihat kejadian. “Itulah saya juga agak kecewa dengan warga, sebab sebelum kesini saya bilang, ‘Tolong kampung dijaga.’ Lalu mereka menjawab, ‘Iya Pak.’ Tapi ternyata ada kejadian seperti ini,” Arisdi menerawang jauh.

Tak ada yang bisa diselamatkan. Sekarang kekayaannya hanya pada pakaian yang dibawa ke Jakarta, sekitar lima potong. “Itulah kekayaan saya,” ujarnya lirih.

Saat kejadian itu, istrinya menginap di rumah orang tuanya. “Jadi istri dan anak saya tak apa-apa. Itu saja sudah cukup senang dan bersyukur,” kata Arsidi. Ada lagi yang menyentuhnya ketika bicara dengan anaknya, yang berusia tiga tahun, via telepon. “Ama (ayah) baju saya sudah habis terbakar api,” kata anaknya.

“Itu saya tak sanggup dengarnya,” tutur Arsidi sambil menundukkan kepala, dengan nada pelan nyaris tak terdengar. Saya diam mendengarnya.


SENIN PAGI, Iwan Gayo, juru bicara pembentukan provinsi ALA berdiri di atas panggung aula. Ia memakai kaca mata hitam. Kulitnya hitam. Baju coklat, celana coklat, topi coklat.

Pertemuan ini membahas isi tuntutan. Iwan menawarkan tiga tuntutan kepada DPR Indonesia. Pertama, ia minta pemerintah Indonesia secepatnya mengesahkan RUU pembentukan provinsi ALA. Kedua, meminta pemerintah Indonesia untuk menganggarkan kompensasi terhadap penderitaan panjang warga Gayo, baik akibat dari perang antara Indonesia dan Darul Islam (1953-1962) serta Indonesia dan Gerakan Acheh Merdeka (1976-2005). Ketiga, meminta pemerintah Indonesia membebaskan penderitaan rakyat Aceh pedalaman atas tuduhan ilegal logging.

Spanduk-spanduk terpasang di berbagai sudut dinding. Isinya tentang seruan pemekaran.

“ALA & ABAS = NKRI”

“Pemekaran provinsi–yes!!! pemekaran negara-no!!!”

“Hentikan penculikan bersenjata dan intimidasi terhadap tokoh-tokoh ALA”

“ALA-ABAS untuk Indonesia.”

Gaya bicara Iwan berapi-api. Penuh semangat. Ia membawa sebuah tongkat dari besi putih, pegangannya berbentuk mulut ular mengeluarkan lidah, di bagian tertentu sudah hitam, mungkin menunjukkan umurnya. Tongkat kerajaan Linge. Saat pertemuan usai, ia memperkenalkan tongkat itu pada beberapa geuchik. “Saya perkirakan tongkat ini pada masa kejayaan Hindu atau Budha, Allahu Alam. Tapi tentu jauh sebelum islam masuk,” katanya.

Beberapa geuchik menambahkan dan mengkritisi isi tuntutan itu. Tapi ketika seorang berdiri dari tengah ruangan, semua terdiam. Nada bicaranya pasti. Menurutnya, semua tuntutan itu terlalu luas dan samar. Mereka bisa menimbulkan masalah baru. Ia takut. Menurutnya harus direvisi, yang utama adalah pemekaran. Itu saja.

“Nama bapak siapa? Geuchik darimana pak,” kata Iwan, menyelidik, memotong.

“Saya bukan geuchik, tapi relawan dari Syiah Utama,” jawabnya.

“Nama Bapak,”

“Dasmika.”

“Dasmika ….” Iwan mengulang nama itu, dan menulisnya pada kertas.

“Kalau begitu Bapak duduk di samping. Maaf selain geuchik dan perwakilan geuchik tak boleh bicara. Dan Bapak tak punya hak untuk bicara. Kami bisa tuduh Bapak sebagai provakator,” kata Iwa, suaranya tegas.

Suasana ruangan sekejab menjadi tenang. Hanya ada satu suara. Iwan Gayo.

Hanya Iwan yang datang dengan berbagai tuntutan. Dari 430 geuchik yang hadir, sebagian besar menuntut pemekaran. Itu saja. “Pokoknya pemekaran,” kata Rata Bahagia, geuchik dari Bener Meriah, bersama empat temannya.

“Kami tak tahu yang lain. Hanya ada satu permintaan, pemekaran. Setelah itu pulang. Tapi selama belum disahkan kami tidak akan pulang. Itu sudah resiko,” ujar Abdul Rahman, geuchik Merah Munyang.

Iwan Gayo masih terus mengoceh. Ia marah dengan kehadiran orang selain geuchik. “Sebenarnya saya mau marah, tapi tak enak sama geuchik-geuchik,” katanya. Selain itu ia menguraikan, jika tak ada sedikit pun maksudnya untuk bermain dalam wilayah politik. Perjuangannya bukan demi sesuatu imbalan.

“Saya nda mau jadi gubernur Pak. Saya mau jadi imam, demi Allah, demi Tuhan, saya mau jadi imam saja,” katanya.


PUKUL 12.00, pertemuan itu selesai. Iwan menyantap semangkuk mie ayam dan segelas es cendol. Tongkat besi itu dibiarkannya menggeletak di atas meja. Saya bertanya kepada Iwan kemungkinan geuchik menginap. “Yes, kami akan manda di sana (DPR),” katanya.

“Bukankah SBY tidak menyetujui adanya pemekaran?” saya tanya.

“Saya katakan SBY, tak berani dia, karena Aceh dalam pantauan Uni Eropa, internasional. Kalau SBY mekarkan, maka bisa saja ini akan menghambat perdamaian,” ujarnya.

“Bukankah ini yang ditakutkan?” saya tanya.

“Saya nda takut, karena kita ini bagian dari RI, UU 32 tahun 2004, bahwa pemekaran itu tak terkecuali hanya pada Aceh. Jadi, kita tak takut siapa-siapa. Kita bukan anti-GAM, tapi kita menghargai perdamaian. Kita hormati wali nangroeh, adat istiadat, agama, kita hormati. Jadi tak akan pernah kami menjadi penghianat untuk MoU. Dalam MoU tidak ada juga larangan untuk pengembangan, bahkan di pasal 5 UU pemerintah Aceh, ada disebut-sebut tentang pemekaran.”

Iwan kembali menikmati mie ayamnya. Keringat membasahi kepalanya yang botak, diusapnya dengan tangan. Tiba-tiba Firman Bintang, koordinator transportasi, mendekatinya, “Bang saya sudah tak pegang uang.”

“Loh?”

“Begini, Bang Tagor” --Tagor Abubakar, bupati bener Meriah—“udah kirim pertama 5 juta dan kemarin 10 juta. Sekarang sudah habis. Itu hanya untuk beli solar. Dia bilang ‘Kau mintalah di Abangmu (Iwan Gayo).’ Jadi saya tanya Abang,” kata Firman Bintang.

“Jadi kurangnya berapa?”

“Abang hitung aja sendiri. Gaji sopir kan setiap hari 2,5 (250,000). Sekarang sudah menungggak empat hari. Dikalikan aja delapan bus.”

“Ok. Tapi kau tanya juga si Tagor, ‘Bagaimana dengan geuchik dari Bener Meriah?’ Mereka kan belum diajak jalan-jalan. Yang lain kan sudah?”


SEKITAR pukul 13.00 saya ke warung di samping wisma sekolah luar biasa. Saya memesan kopi. Seorang geuchik berjalan dengan cepat. “Mbak beli Rinso,” katanya pada penjual. Ia mangambil tiga sachet Rinso kecil harga seribuan. “Mau apa?” geuchik yang lain bertanya.

“Mau mencuci,”

“Tidak usah. Tidak kering. Besok saja. Kan ke DPR,”

Dia duduk di meja tempat saya bersama dua temannya. Mereka terus bercerita, “Walapun nanti sudah mekar, tapi selanjutnya ini masih belum jelas,” kata seorang dari mereka. Saya tanya nama mereka.

“Tak usahlah tulis nama. Kalau mau tulis cerita saja. Tapi nama nda usah ya.”


SELASA pukul 10.15. Delapan bus Dedi Jaya yang mengangkut 430 geuchik Aceh pedalaman melaju. Perlahan masuk dalam lingkup macetnya Jakarta. Saya ikut dalam rombongan ini di bus kelima. Dalam bus udara menjadi panas dan pengap. Beberapa geuchik membuka bajunya. Mereka kegerahan. Tiba-tiba bus menorobos traffic light. “Kita ini seperti presiden terkecil, jadi bisa lah terobos lampu merah,” kata seorang geuchik.

Namun sebelum berangkat mereka melantunkan salawat. Songkok hitam mereka dibalut bendera Merah Putih. Setiap orang membawa satu bendera dengan tiang pipa dari plastik.

Sebelum berangkat, bersama dua orang temannya, Rusdi geuchik Paringkel, kecamatan Banda, kabupaten Bener Meriah duduk dibangku depan aula. Saya menawarinya rokok. Saya bertanya padanya apa perwakilan dari ABAS sudah ada. Ia tak menjawab. Raut wajahnya terlihat bingung.

Ia bertanya, “ABAS itu apa.”

“Bapak tidak tahu ABAS,” kataku.

Sejurus kemudian, temannya menjelaskan jika ABAS adalah satu daerah yang juga meminta pemekaran sama dengan ALA.

“Jadi ABAS itu Aceh Barat Selatan,” kata geuchik yang lain menjelaskan.

“Saya tahunya hanya ALA,” jawab Rusdi.

ALA atau Aceh Leuser Antara meliputi kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan kota Subulussalam. Sedangkan ABAS atau Aceh Barat Selatan mencakup kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue.

Setengah jam kemudian bus itu sampai di depan gedung DPR. Para geuchik tertahan di luar gedung. Mereka tak diizinkan masuk. Iwan Gayo, dikerumuni wartawan. Penampilannya tak berubah. Hanya saja coklat pakaiannya lebih tua. Ia tersenyum puas. Ia senang publikasi. Dalam lagu bahasa Gayo, namanya disebut-sebut. “Haji Iwan Gayo...,” begitu namanya dilantunkan dalam irama.

Sejenak kemudian, di depan pintu gerbang DPR, didong digelar. Kesenian khas Gayo. Sembilan geuchik duduk bersila melingkar di atas karpet merah. Satu orang sebagai pelantun lagu, yang lain memukul bantal kecil hitam, dilekatkan di tangan. Mereka serempak bergoyang ke kiri dan kanan. Sesekali kepala mereka bertemu di tengah lingkaran. Lagunya tentang pemekaran, “Suatu masa ALA akan tersenyum…,” begitu sepengggal syairnya. Atau, “Haji Iwan Gayo membawa pesan ke seluruh dunia….”

Pukul 14.20 keinginan masuk ke lingkungan DPR terkabul. Mereka diterima tiga anggota DPD dari Aceh, Adnan NS, Mediati Hafni Hanum, dan Malik Raden, dalam tiga gelombang. Setiap sesi 50 orang. Para geuchik ini berjalan berderetan. Atribut bendera merah putih di peci. Bendera lengan dilepas. Di gedung Nusantara V, salah satu gedung di Senayan, mereka memasuki sebuah ruangan kecil.

Pertemuan yang dingin. Tuntutan mereka, dari tiga butir berubah jadi lima hal. “Sebegitu zalimnya para petugas. Kok bendera tidak boleh dibawa untuk menghadap anggota DPD yang terhormat. Saya kira itu pelanggaran. Yang tidak boleh itu dinjak-injak pak, tapi kalau disandang di mahkota di kepala, itu hak dan protokolernya seperti itu. Saya kira itu jelas membuktikan jika kita bagian dari NKRI,” kata Iwan Gayo.

Iwan bertanya kepada 50 yang masuk gelombang pertama, “Yang Aceh mana?”

Tak ada yang angkat tangan. “Yang Jawa mana?”

Seorang geuchik bernama Tukiran mengangkat tangan.

Iwan menekankan dia bukan orang rasialis. Cuma menekankan bahwa rombongan ini beragam. Ada Gayo, Aceh dan Jawa. Ada 56 geuchik keturunan Jawa, campuran antara keturunan trasmigran dan perantau, dalam rombongan ini.

“Inilah kami Pak, yang hadir di depan Bapak, yang sepakat dengan apapun yang Bapak mau. Mati pun kami sudah siap,” tegas Hafni Hanum.

“Kami sangat bersyukur karena Bapak-bapak dan Ibu-ibu ini datang kan bawa aspirasi dari masyarakat warga di sana. Apalagi kepala desa. Artinya, Bapak dan Ibu telah membantu tugas kami itu. Nah kalau kami datang satu-satu, ke tiap desa menanyakan apa aspirasi, yang perlu kami perjuangkan, itu kan cape sekali,” lanjut Hafni.

Geuchik yang berkumpul mendengarnya dengan seksama. Raut wajah mereka menunjukkan kelelahan. Di luar pagar DPR, mereka diguyur hujan selama satu jam lebih. Nyaris tak ada tempat berlindung. Pakaian mereka kering di badan.

“Tapi DPD hanya diberikan wewenang, hanya mengusul dan mempertimbangkan, hanya dua kekuatan. Mengusul dan mempertimbangkan,” terang Adnan.

Adnan juga mencontohkan jika DPD itu seperti sebuah kekuatan yang sangat kecil. Seperti singa yang gagah berani, tapi ompong. Tapi untuk merealisasikan pemekaran ALA, itu bukan hal yang mustahil. Sebab ada beberapa daerah yang muncul, hanya dari RUU, seperti Banten, Kepulauan Riau, Bangka dan Sulawesi Barat.

Hingga pertemuan usai, kepastian akan penandatanganan pemekaran provinsi ALA belum menemui titik kepastian. Ancaman akan bermalam di DPR dan pencopotan lencana, stempel, dan pangkat kepala desa tak dilakukan. Saya bertanya pada Iwan Gayo, kemungkinan geuchik bermalam di gedung DPR. “Kayaknya akan sulit,” jawabnya.

“Saya tak melihat ada wartawan tadi di dalam,” sambungnya.

“Tadi ada Indosiar dan Bali TV,” kata saya.

“Saya kira nda ada. Sebab ini harus diberitakan.”


SEBENTAR lagi malam menyelimuti Jakarta. Mega Satria baru selesai mandi. Ia sibuk melayani para geuchik dari Aceh sebagai koordinator umum penjemputan. Ia juga yang menyiapkan tempat penginapan pada mereka. “Ini spontanitas panggilan nurani, itu aja,” katanya.

Di Jakarta, Mega adalah pengawas Sekolah Luar Biasa, yang kebetulan sebagai putra daerah Gayo. “Itu akses kita sebagai pengawas. Tentunya itu dari hasil tanaman-tanaman saya. Dan ini buahnya,” jelasnya.

Saya bertanya bagaimana dengan isu bubarnya perdamaian Aceh bila pemekaran ini jalan. Ia tak mau menjawab. “Anda ini kan pers, jadi kami harus harus hati-hati jangan sampai salah ngomong. Iya kan? Jadi kami harus menunggu tokoh kami Haji Muhammad Iwan Gayo,” sambungnya.

Namun, koordinator pemuda Komite Persiapan Pembentukan ALA, Zam Zam Mubarrok menjawabnya. “Pemekaran itu harga mati, tapi harga pasti untuk Aceh.”

“Dengan memekarkan ALA maka tugas NAD akan lebih ringan. Nah itu bahasa kita, bukannya perpecahan tapi meringankan bebannya Irwandi Yusuf,” jelasnya.

Irwandi Yusuf, seorang dosen Universitas Syiah Kuala dan tokoh GAM, adalah gubernur Aceh sekarang. Irwandi tak menyetujui adanya pemekaran di Aceh. Ia anggap isu pemekaran ini hanya permainan elit politik dan melanggar MoU Helsinki.

Zam Zam Mubarrok mengatakan, “Sebenarnya konflik di Aceh terjadi karena kesenjangan. Miskomunikasi. Secara garis besar, Aceh merasa dianaktirikan oleh Republik dan secara khusus ALA merasa dianaktirikan provinsi. Justru karena adanya pemekaran ini konflik akan mudah diatasi. Jangan samakan basisnya GAM, sama dengan kita. Beda!”

“Tidak ada alasan karena adanya pemekaran, maka akan muncul konflik. Kita tidak pernah mengajak untuk perang. Tapi apabila mereka mengajak perang, kita tidak diam. Dengan siapa saja yang akan mengacaukan keamanan. Jika pemekaran tidak terlaksana maka kita akan siap mengajukan ini ke PBB. Karena aspirasi pemekaran ini lahir sebelum adanya MoU Helsinki,” Zam berpanjang lebar.

“Kami setuju dengan perdamaian. Tapi kami tak setuju GAM. Mereka kan mau pisah (dengan Indonesia). Kami tidak, hanya minta pemekaran,” kata Kamaluddin dari Kampung Akal, kecamatan Atu Lintang.

Menurut Zam, “GAM masih punya senjata. Dimana perdamaian itu? Ya ga?”

Zam membacakan pesan singkat dari Nasir Jamil, mantan wartawan Serambi dan politikus Partai Keadilan Sejahtera, juga anggota DPR. “Kami bilang sama dia GAM melanggar perdamaian,” kata Zam.

Balasan Nasir, “Pimpinan GAM juga tidak bisa mengontrol anak buahnya di lapangan.”

“Itu artinya dalam tubuh GAM pun ada perpecahan,” jelas Zam kembali.

“Kalau Aceh mekar, Irwandi akan mengantongi nilai kursi 2,1 persen, tapi kalau tidak mekar 4,2 persen rakyat Aceh. ‘Dia ogah jadi gubernur dengan itu.’ Sementara dia tak sanggup mengurusnya, jalan-jalan. Kapasitas ada, tapi kemampuan fisik dan jangkau pikirnya tidak sampai ke pedalaman,” tutur Iwan Gayo.

Pukul 18.00, rombongan geuchik tiba dari studi banding. Mereka mengunjungi Taman Buah Mekar Sari dan sehari sebelumnya mereka berkunjung ke Monumen Nasional. Saya bertanya kenapa studi banding. “Mereka ingin melihat tanaman di sana, dan mempelajari cara tanamnya. Penghasilan utama di ALA kan ladang,” kata Zam.

“Seperti jalan-jalan juga lah,” lanjutnya.

Pukul 19.15 kepala desa berkumpul di ruang makan. Menu makannya cukup baik, ada kari ayam, sop ayam, ikan, dan sebuah toples besar berisi kerupuk merah. Mereka mengantri dengan rapi. Beberapa orang memakai sarung dengan kaos kutang, atau hanya celana pendek. Ada juga yang tak memakai sendal. Mereka makan dengan lahap. “Ayo makan dulu,” Zam menawari saya.

Tumpahan kuah kari menempel di lantai dan meja makan. Di samping ruangan, bunyi piring saling bersentuhan terdengar jelas. Beberapa perempuan dengan sigap membilas.

Sekitar pukul 22.00 gelombang ketiga datang. Ada 90 geuchik. Sambil membawa tas dan koper, mereka langsung menuju ruang makan. Sementara geuchik lainnya menikmati hiburan lagu sesama geuchik.

Arisdi ada di sana. Di atas bangku taman depan aula itu, saya menghabiskan malam dengannya dan Kamaluddin. Tiba-tiba ia kehabisan rokok. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri dan berlalu. Namun, beberapa menit setelahnya ia datang membawa dua bungkus rokok. “Mas, wartawan itu banyak uang ya,” tiba-tiba Arisdi bertanya.

“Akh, tidak juga, buktinya saya tak punya uang,”

Tiba-tiba dengan cekatan ia merapatkan tangannya ke kantong bajuku. Tangannya berisi selembar Rp50 ribu. Saya kaget. Hati saya bergetar keras. Lembaran itu saya kembalikan. Ia tak mau. “Saya ini anggap Mas sebagai teman,” katanya.

“Saya tak bisa menerima ini,” jawab saya.

Ia kemudian membuat jarak dari tempat duduk kami. Jelas, Arisdi tak mau uang itu dikembalikan.

Uang itu saya pegang. Kemudian berdiri. Saya mengajaknya minum kopi. Tapi malam itu tak ada kopi. Kami pun minum Coca cola. Empat kaleng. Sebungkus rokok Marlboro. Saya memakai uang itu. Kembaliannya saya berikan lagi. “Tak usah dikembalikan lah,” katanya.

Saya bermalam ditempat para geuchik. Saya tidur di musallah. Kembalian uang itu tak mampu membuat mata terpejam. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 04.00. Beberapa jam ke depan akan terang. Pagi pun tiba, dan saya belum sedikit pun memejamkan mata. Pagi-pagi saya mencari Zam. “Saya minta tolong ini uangnya pak Arisdi. Geuchik yang rumahnya terbakar,” kata saya.

"Ini uang apa?”

“Uang kembaliannya, tadi malam dia lupa ambil,” kata saya.

“Oh, iya.”

Kemudian saya berjalan keluar mencari angkutan umum jurusan Blok-M.


*) Eko Rusdianto kontributor Pantau Aceh feature service di Jakarta, kelahiran Palopo, meliput kedatangan para geuchik di Jakarta selama empat hari di Lebak Bulus, termasuk menginap semalam. Ia mewawancarai sekitar 30 orang dalam rombongan ini.

Jangan Ada Dusta di Antara Kita

Jangan Ada Dusta di Antara Kita
Oleh Eko Rusdianto

PADA Senin 24 Maret lalu, di gedung Departemen Dalam Negeri di jantung Jakarta, ada pemandangan tak lazim. Puluhan geuchik dari pedalaman Aceh mengantri masuk lift, menuju lantai tiga, masuk ke sebuah ruang kecil dengan 52 meja bersusun huruf U.

Seorang geuchik berumur setengah abad memulai bacaannya. Suaranya parau, seperti menahan sesak. Tangannya bergoyang gemetaran hingga kertas yang dibacanya ikut bergetar pula. Sesekali ia memegang kacamatanya. “Kami teng mriki makili kepala desa etnik Jawa ingkang jumlahipun sekawan atus tigang ndoso kepala desa,” katanya dalam bahasa Jawa krama. Artinya, “Kami disini mewakili kepala desa etnik Jawa yang jumlahnya 430 kepala desa.”

Namanya Tukiran. Dia kepala desa Mufakat Jadi, kabupaten Bener Meriah. Ia dipercaya sebagai koordinator geuchik Jawa dari pedalaman Aceh. Di ruangan itu ada 13 geuchik Jawa, termasuk Tukiran, yang memakai blangkon gaya Surakartan. Blangkon ini rata saja, tanpa bendolan –model bendolan adalah gaya Jogjakartan. Satu geuchik memakai topi Aceh. Satu lagi memakai pakaian adat Aceh Gayo: kerawang.

Tukiran terus bicara dengan bahasa Jawa. Suaranya naik turun. Sementara kepala desa yang lain mengangguk-angguk. Mereka kelihatannya memahami penyampaian Tukiran. Seorang geuchik mengarahkan kamera saku ke Tukiran. Jepret.

Tukiran mengatakan, “Kami nyuwun wontenipun Bapak Mendagri supados maringi kami sedaya raos aman dumateng etnik Jawa ingkang tinggal wonten ing Aceh pedalaman (Kami minta kepada Bapak Menteri Dalam Negeri memberi kami rasa aman kepada kami etnik Jawa yang berdomisili di Aceh pedalaman),” tegasnya.

Di luar pagar gedung, empat bus mereka menunggu bersisian dengan jalan. Bus ini mengantar mereka dari sebuah asrama di Lebakbulus, selatan Jakarta, pagi harinya. Spanduk terpampang di sisi bus. Tuntutannya, pembuatan provinsi ALA-ABAS. Dekat bus, ada ratusan geuchik lain menunggu. Lebih dari 50 orang juga menggunakan blangkon Surakartan.

Di dalam gedung, 15 wakil mereka, termasuk Tugiran, ditemui Abdul Fatah, Direktur Penataan Daerah & Otonomi Khusus dari Departemen Dalam Negeri. Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, orang Jawa dan mantan gubernur Jawa Tengah, tidak menemui rombongan ini. Pidato Tukiran tampaknya dirancang untuk Mardiyanto maupun pejabat-pejabat lain yang bisa bahasa Jawa.

Iwan Gayo, seorang mantan wartawan, warga Takengon dan koordinator rombongan ini, membuka pertemuan dengan mengurai jika di Aceh pedalaman ada 66 geuchik etnik Jawa dari total 430 geuchik, mayoritas etnik Gayo, yang sering dianggap “penduduk asli” daerah ini.

“Mengapa saya sebutkan ini? Karena saya bukan tokoh rasialis. Saya tahu SARA itu pantang untuk negeri kita yang multi etnik ini,” kata Iwan.

Iwan juga protes dengan ketidakhadiran Mardiyanto, “Kepala desa kami dihinakan, dimarginalkan, karena Menteri tidak mau terima kami, atau tidak bisa terima kami, atau tidak pantas menerima kami.”

Di ruangan itu, hadir pula Rahmat Salam, ketua Komite Persiapan Pembentukan (KP3) ALA dan Burhan Alpin, sekretaris KP3 ALA. Mereka bertutur bergantian.

“Kami dengar di Papua tidak mau mekar tapi dimekarkan. Jelas-jelas kami sudah beberapa tahun meminta pemekaran tapi belum dikasih. Kami juga tidak mau pemerintah takut dengan pemerintah asing. Aceh ini sudah dikuasai asing,” kata Burhan Alpin.

Dia memakai kemeja coklat bergaris. Raut mukanya keras. Berlubang-lubang kecil, mungkin bekas jerawat. Ia berapi-api. Suaranya keras.

Menurut Rahmat Salam, mereka kuatir jika tahun 2009 nanti, partai-partai lokal yang dinilainya notabene berafiliasi dengan GAM, memenangkan pemilihan legislatif, maka GAM akan menguasai kursi-kursi legislatif di Aceh lebih dari 50 persen.

“Bagaimana jadinya? Sekarang pimpinan daerah toh dari unsur-unsur yang Bapak tahu? Dan bagaimana jadinya jika hal itu benar-benar terjadi di tahun 2009? Kami tidak tahu apa kami akan perang saudara disana? Kami tidak menuntut lebih, kami tidak seperti yang lain menuntut merdeka. Hanya menuntut pemekaran provinsi.”

Sekejab ruangan menjadi diam. Di sisi lain, duduk 12 remaja putri memakai pakaian adat Gayo. Di sela pertemuan tadi, mereka memainkan didong kesenian khas Gayo.

“Nyatakan pada kami satu kata saja, katakan, ‘Wahai provinsi ALA, NKRI sudah tidak mampu mengayomi kalian.’ Satu kata saja! ‘Pemerintah sudah tidak mampu lagi memekarkan provinsi kalian! Katakan satu kata saja Pak!” kata Rahmat Salam kepada Abdul Fatah.

Saya teringat ucapan Iwan Gayo minggu lalu. Jika Jakarta memekarkan ALA, maka gubernur pertama adalah Rahmat Salam. Pada kartu nama Rahmat Salam, tertera jabatannya sebagai “peneliti sosial, lingkungan hidup, kebijakan publik” dari Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia & Lingkungan Universitas Indonesia. Rahmat sebenarnya keliru menganggap semua partai lokal adalah partai-partai GAM. Cukup banyak politisi Aceh, yang kurang suka pada GAM, ikut mendirikan partai lokal. GAM sendiri juga terpecah-pecah.

Muhamad Hatta, kepala mukim Wih Besam, Kabupaten Bener Meriah, mengatakan mereka curiga orang-orang GAM, termasuk Gubernur Irwandi Yusuf dan banyak bupati serta walikota hasil pemilihan daerah 2007, masih menyimpan keinginan memerdekakan Aceh dari Indonesia. “Kami tidak mau merdeka dua kali. Itulah setiap pergolakan politik kami selalu dimusuhi. Itu berlaku di pedalaman Aceh. Ini mohon dimengerti, ‘Kenapa kami mau berpisah dengan mereka karena kami tak mau ada dusta diantara kami!’ ”

Sekitar dua jam pertemuan itu. Tak ada jeda waktu setiap kepala menyampaikan pendapatnya. Mereka terus bercerita.


SEKITAR pukul 14.30 pertemuan itu usai. Ini adalah aksi mereka yang terakhir selama dua minggu di Jakarta. Mereka akan kembali ke Aceh secara bergelombang. Abdul Fatah, tuan rumah pertemuan, berjanji menyampaikan masukan ini kepada Mardiyanto. “Saya sudah tahu maksudnya. Saya sudah mengerti semua,” katanya.

Iwan Gayo menyerahkan sebuah lembaran tebal daftar donasi warga di ALA sebagai bukti dukungan terhadap para geuchik ini. Ia seakan-akan hendak menepis dugaan rombongan geuchik ini disponsori pihak lain. Lembaran ini diikat dengan pita merah-putih. Iwan juga menyerahkan segulung peta digital serta sebundel tebal berisi tuntutan dan nama 430 kepala desa.

Saya mengikuti Tukiran sampai keluar ruangan. Di depan gedung, ratusan kepala desa menunggu hasil pertemuan. Ada yang berteduh di bawah pohon. Ada yang menikmati rokok. Setelah wakil-wakil mereka keluar, semua berdiri, berkumpul dan berpose bersama depan pagar Departemen Dalam Negeri.


DUA HARI kemudian, 50-an geuchik rombongan terakhir meninggalkan Jakarta. Wajah segar tampak dari raut mereka. Mendadak suasana kompleks Sekolah Luar Biasa, di Lebakbulus jadi sepi. Tak ada lagi handuk tergantung di daun jendela dan bubungan asap menyembul ke lubang AC. Ruang makan di depan musallah pun telah tertutup rapat.

Sebuah bus akan membawa para geuchik ke bandara TNI AU Halim Perdana Kusuma. Janji mereka, akan tetap tinggal di Jakarta hingga keputusan pemekaran ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tampaknya tidak terwujud.

“Berapa lama untuk menunggu hasil pemekaran,” tanya saya kepada Iwan Gayo.

“Jadi saya lihat Kompas kemarin, isu pemekaran ALA-ABAS tidak akan dibahas lagi oleh DPR. Berarti dead lock. Yang berguna hanya untuk Irwandi. Jangan terus memfitnah! Ini aspirasi rakyat. Kalau nanti kepala desa bersidang minta pada Irwandi untuk mekarkan wilayah dan dipenuhinya, saya kira cita-cita kita sudah berhasil. Tinggal lihat nanti, apakah Irwandi minta balasan untuk penuhi aspirasi referendumnya. Itu kita tunggu saja waktunya,” tutur Iwan.

“Kenapa para geuchik ini memakai blangkon,” tanya saya.

“Kita kedepankan etnik Jawa ini untuk meminta simpati dunia, simpati Indonesia, simpati Jakarta. Bahwa kalau mereka tidak mau menolong orang-orang Aceh asli di pedalaman sana, orang-orang Gayo, tolonglah bangsamu (Jawa) ini! Karena bangsamu ini yang terzolimi oleh konflik sangat hebatnya,” kata Iwan, nadanya agak keras.

Ada lebih dari 120,000 orang Jawa melarikan diri dari Aceh sesudah Presiden Soeharto mundur pada Mei 1998. Mereka takut dengan maraknya gerakan Acheh ingin merdeka. Mereka diusir dari tanah Aceh oleh orang-orang Aceh.

Gerakan Acheh Merdeka secara resmi menilai nasionalisme Indonesia berakar pada nasionalisme Jawa. Mereka menganggap “bangsa Indonesia” adalah nama samaran “bangsa Jawa.” Dengan nasionalisme semu inilah “bangsa Jawa,” sejak menggantikan negara Hindia Belanda, mengirim banyak orang Jawa ke luar Pulau Jawa –lewat program transmigrasi-- dan mendirikan koloni-koloni Jawa di berbagai pulau, termasuk pedalaman Aceh.

Sejak perjanjian Helsinki diteken Agustus 2005, orang-orang Jawa yang lari itu perlahan-lahan mulai kembali ke Aceh. Helsinki mensyaratkan pemerintah Indonesia memberi ruang untuk orang-orang GAM masuk panggung politik di Aceh secara demokratis. Helsinki secara tersurat mengatakan perbatasan Aceh tetap mengikuti batas-batas 1 Juli 1956. Perbedaan pendapat diselesaikan lewat Crisis Management Initiative dengan melibatkan pemerintah Indonesia, GAM di Stockholm serta European Union. Artinya, “pemekaran” bisa dianggap melanggar perjanjian tersebut.

Iwan sangat bersemangat menjawab saya. Saat berbicara ia menutup mata. “Sebenarnya kedatangan kita ke Jakarta ini, juga untuk mematahkan pandangan Yang Mulia Irwandi Yusuf, Gubernur NAD, jika ini bukan aspirasi segelintir orang,” katanya.

Dari Halim Perdana Kusuma, rombongan geuchik ini naik pesawat Hercules milik TNI AU kembali ke pedalaman Aceh.


*) Eko Rusdianto reporter Pantau Aceh feature service di Jakarta, kelahiran Palopo, mengikuti rombongan geuchik Aceh ini selama seminggu lebih di Jakarta.

Ibrahim

Ibrahim
Oleh Hairul Anwar

KENANGAN-kenangan itu tersusun rapi dalam sebuah bingkai ukuran jumbo. Isinya sebagian besar kliping koran yang mengulas tentang dirinya dalam film Puisi Tak Terkuburkan. Ada pula gambar Garin Nugroho, sutradara film itu, serta aneka piagam penghargaan festival film dari luar negeri.

Bingkai itu terpajang di dinding ruang tamu. Dua bingkai poster film Tjoet Nja’ Dhien menghiasi dinding lain.

Ibrahim Kadir ikut bermain dalam dua film itu. Dalam film Puisi Tak Terkuburkan, dia berperan sebagai tokoh utama. Film ini berkisah tentang pengalaman hidupnya sewaktu hidup dalam penjara pada 1965. Sedang dalam film Tjoet Nja’ Dhien garapan Eros Djarot, dia berperan sebagai Penyair, bermain bersama aktris Christine Hakim.

Ibrahim masih tetap memelihara komunikasi dengan Garin dan Eros. Ketika dia ke Jakarta, Januari 2008 lalu, dia menyempatkan diri datang rumah Eros. Eros pula yang membangun rumahnya di kampung Kemili, Takengon, Aceh Tengah.

“Sudah seperti keluarga. Kalau Garin nggak ketemu. Dia sedang di Jerman. Dia bilang akan membuat film lagi tentang Aceh dan mengajak saya lagi. Entah, kapan itu,” katanya.

Bermain film adalah pengalaman lain Ibrahim selain mengajar tari, teater dan mengarang puisi.

Saat senggang dia memutar ulang film Puisi Tak Terkuburkan bersama cucu-cucunya. Film ini juga kerap ditonton tetangga atau pejabat di Takengon. Ibarat sebuah album foto, dia berharap orang-orang mengingat kembali penggalan-penggalan masa lalunya.

“Saya hanya punya satu kasetnya. Takut kalau sering diputar jadi rusak. Saya mau minta tolong Garin kirim seribu buah dalam bentuk kepingan CD,” katanya.

Usianya sudah 66 tahun. Satu persatu giginya mulai tanggal. Badan yang dulu tegap tak tampak lagi. Kulit tubuhnya pun sudah menggelambir di sana-sini. Hanya satu yang tak berubah, suaranya tetap meledak-ledak. Kadang, saya mendengar gaya bertutur dia seperti sedang berpuisi.

Suatu sore di awal Februari 2008 itu, rumah sedang sepi. Ibrahim pamit sebentar. Suara azan zuhur memanggilnya datang sembahyang ke masjid di samping rumah.


AWAL Oktober 1965. Di kota Takengon, Aceh Tengah, lelaki dan perempuan menyesaki sel penjara yang dingin dan pengap. Tiap sel dipisah dinding dari papan. Wajah-wajah tahanan terlihat tegang dan penuh cemas.

Malam itu, tahanan baru bernomor urut 25 baru saja masuk. Tubuhnya gemuk dan mengenakan sandal jepit. Lelaki itu…bernama Ibrahim Kadir.

Ibrahim menghuni sel nomor tujuh. Orang-orang di sel itu menatap dingin kedatangannya. Sambil membalut tubuhnya dengan kain sarung, Ibrahim menghempaskan diri di pojok sel.

Udara malam yang dingin di luar sana telah menyusup ke celah-celah dinding penjara.

Ibrahim mencoba membaringkan tubuhnya di atas tikar pandan. Matanya sungguh sulit terpejam. Dia masih tidak mengerti mengapa dirinya harus ada dalam ruang penjara yang pengap itu. Lalu dia duduk lagi, termenung.

Siang tadi belasan tentara mengambil dirinya ketika mengajar kesenian di sekolah dasar. Kejadiannya cepat sekali. Apalagi, dia belum sempat pamit kepada istrinya, yang kebetulan sedang mengajar di kelas lain di sekolah itu. Sepanjang perjalanan dia tidak berani bertanya.

Rasa ingin tahunya tiba-tiba membuncah. Kebetulan di kamar itu, dia bertemu seseorang. Dia mengenalnya. Lelaki itu, atasannya di dinas pendidikan Aceh Tengah.

“Saya ini dibawa kemari. Ndak ditanya. Apa ini?”

”Saya pun tak tahu. Saya juga langsung dibawa kemari. Nantilah kita tahu, kalau ditanya,” jawab lelaki itu.

Sel nomor tujuh itu makin lama makin sesak oleh penghuni baru. Ada yang tidur dibawah kaki dengan alas tikar pandan, ada yang berimpitan di atas dipan.

Lamat-lamat telinga Ibrahim menangkap suara bisik-bisik antarmereka.

“PKI di Jakarta memberontak. Jenderal-jenderal dibunuh.”

Dari cerita orang-orang di penjara, Ibrahim mendengar setelah pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) gagal, militer melakukan ‘pembersihan’ terhadap anggota-anggota partai itu, salah satunya di Aceh Tengah.

Ibrahim mengira semua yang berada di penjara itu adalah anggota PKI. Dia ingat ketika partai itu memberikan bantuan alat bertani berupa cangkul di kampungnya. Tapi dia bukan anggota PKI. Dia tidak menerima bantuan itu.

Dia mendengar kabar para penerima bantuan itu ikut pula ditangkap.

Memasuki hari ke-10, penghuni penjara mulai berkurang. Ibrahim paham bagaimana hidup mereka berakhir. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri saat menuruti perintah tentara-tentara itu mengikat dan membungkus tubuh para tahanan dengan karung goni. Tapi, dia tidak berdaya di tengah todongan senapan tentara-tentara itu.

Malam itu, seorang tentara sigap memberi perintah. Para tahanan yang diangkut dengan truk kemudian dibagi.

“Empat pertama di tikungan pertama. Empat berikutnya di tikungan berikutnya…”

Di sebuah bukit sudah bersiap puluhan lelaki yang menjadi algojo. Tangan mereka menggenggam tombak dan parang. Dia menyaksikan tubuh-tubuh itu dibantai dari jarak 15 meter. Tentara-tentara itu, anehnya hanya berdiri menonton.

Ibrahim terhenyak. Dia tidak tahan melihat tubuh-tubuh itu menggelepar di tanah. Dia merasa gilirannya sudah tiba.

“Sudah... Kamu masuk ke truk. Giliran kamu besok...!” seru tentara itu kepadanya.

Seketika tubuh Ibrahim menjadi lemas. Sepanjang perjalanan kembali ke penjara, dia membisu. Dia merasakan maut kian dekat.

Malam ke-14, truk-truk tentara datang lagi ke penjara. Para tahanan yang dianggap anggota PKI kembali akan dieksekusi. Seorang petugas penjara memanggil tahanan sesuai nomor urut. Si pemilik nomor bergegas keluar sel penjara.

“Nomor satu, dua, tiga…dua puluh empat… dua puluh enam…”

Ternyata setelah memanggil nomor 24, petugas itu langsung lompat menyebut nomor 26.

Ibrahim tidak mendapatkan giliran yang dijanjikan itu. Hidupnya seperti tengah dipermainkan. Dia protes kepada petugas itu.

“Nomor dua puluh lima tidak ada!” Petugas itu menjawab dengan nada tinggi.

Malam ke-16… malam ke-18… malam ke-20…hingga malam ke-22, nama Ibrahim tak dipanggil juga. Temannya dalam sel nomor tujuh yang awalnya sangat sesak kini berkurang.

Lama-lama Ibrahim tidak tahan lagi. Pikirnya, pembunuhan toh akan datang juga. Dia sudah memutuskan tidak mau lagi ikut pergi ke tempat eksekusi. Dia tidak sanggup lagi menunggu datangnya kematian itu. Tekadnya sudah bulat, ingin ditembak di penjara saat itu juga.

Sepanjang malam ke-22 itu Ibrahim tidak bisa tidur. Tubuhnya gemetar. Dia kemudian membuka sobekan-sobekan kertas rokok berisi sajak-sajak yang ditulisnya dalam bahasa Gayo. Sajak itu diperuntukkan kepada ibunya sebagai ungkapan perasaan jika kematian menjemputnya.

Terbayang pula wajah istrinya, Rasuna dan Adrian, anak lelakinya yang masih bayi.

Ibrahim melangkah membuka daun jendela selnya. Seketika udara dingin menyeruak masuk. Kedua tangannya menggenggam erat jeruji-jerujinya. Dia menanggalkan baju seperti menantang tentara-tentara itu menembak langsung ke dadanya.

Tiba-tiba dia menjerit keras. Suaranya bergaung ke sudut-sudut penjara.

“Mamak…
Batang mempelam tergayut angin
Batang tubuhku sekarang terguncang
Berat telah berkurang ibarat daun layu
Bunga di tanganku terampas hantu

Tak melintas lagi kepak burung di atas atap yang tiris
Tak singgah lagi lalat di lantai yang rata
Tiada lagi bisik burung di ujung tangga
Sebatangkara menimbang bimbang

Mamak…
Bukit hijau itu kadang terbayang
Remuk pundakku mengemban beban
Di punggung kayu basah tersiram hujan
Tempatku bercermin terbayang senyampan

Ranggaskah sudah rumput halaman
Layukah sudah pucuk yang terinjak
Luruhkan sudah putik bunga telaga
Nestapa jasad terombang-ambing gelombang...”

Ibrahim berharap ratapannya itu akan mengundang kemarahan seisi penjara, terutama sipir. Semoga itu berujung pada perintah penembakan dirinya, saat itu juga. Jika sudah mati, keluarganya bisa melihat dan membawa jasadnya pulang. Dia tidak mau hidupnya berakhir seperti tahanan-tahanan itu, yang jasadnya terguling lalu lenyap di balik bukit.

Ibrahim lalu membusung dadanya sambil bersuara keras.

“Oiii…tentaraa…tembaaak nih dadaku!”

Tapi… kemarahan yang diharap itu tidak datang. Selama Ibrahim meneriakkan ratapannya, tidak ada yang marah atau protes karena terganggu. Malah setelah dia selesai, penghuni sel terbawa oleh perasaan haru, lalu mereka menangis.

Paginya, ternyata ratapan Ibrahim itu diperdengarkan dalam sebuah gedung kesenian dekat lingkungan penjara. Acara itu dihadiri orang-orang Takengon, aktivis partai, dan petinggi militer dari Banda Aceh.

Mereka larut mendengar suara Ibrahim. Seorang aktivis Partai Nasional Indonesia bertanya kepada panitia kegiatan itu.

“Suara siapa ini?”

“Ibrahim Kadir.”

“Di mana dia?”

“Di dalam.” Dia lalu menujuk bangunan penjara.

Aktivis partai itu terperanjat.

“Mengapa... Apa salahnya?”

Aktivis itu makin kaget mendengar Ibrahim ditahan karena dianggap anggota PKI. Dia protes kepada sipir penjara. Suaranya yang keras membuat suasana gedung jadi ricuh.

“Dia kan anggota kami! Dia PNI (Partai Nasional Indonesia)! Jangan sembarangan (menahan)!”

Hari itu juga, Ibrahim dikeluarkan dari penjara. Dia dibawa ke kantor distrik militer Aceh Tengah. Di sana sudah menunggu para tentara, jaksa, dan bupati Aceh Tengah. Dia diberitahu tidak terlibat sebagai anggota PKI. Jaksa berdalih nama ‘Ibrahim’ yang dilaporkan anggota PKI adalah ‘Ibrahim’ yang lain.

Namun, Ibrahim tidak terima alasan jaksa. Dengan wajah penuh rasa amarah, dia hendak memukul seorang tentara sembari berteriak.

“Pantengong…!!!”

Ibrahim meneriaki mereka “bodoh”. Seorang tentara lain datang melerai dan memegang tubuhnya di kursi. Ibrahim masih berteriak.

“Sudah 22 hari aku ditahan tanpa tahu apa kesalahanku. Sekarang aku dinyatakan bebas. Apa-apaan ini! Mengapa mesti salah menangkap! Sekarang aku sudah lihat perbuatan kalian, membantai orang-orang itu. Tidak! Aku tidak mau bebas! Aku mau tetap dalam penjara itu!”

Jaksa itu mencoba membujuk Ibrahim.

“Kalau Bapak tidak ditangkap saat itu, mungkin Bapak akan dibunuh massa yang menyangka Bapak (anggota) PKI.”

Dia akhirnya luluh. Sebulan kemudian, dia kembali mengajar kesenian di sekolah.

“Kita dilahirkan ke dunia mendapat tugas dengan berbagai kesalahan. Kesalahan setiap manusia tidak dapat dilenyapkan dengan kematian. Sebelum kamu kenali sesuatu, jangan kamu sentuh. Manusia masih bisa berubah,” ujar Ibrahim kepada saya, sambil menghisap rokok di teras rumahnya yang dingin.


PADA 1988, Eros Djarot datang ke Aceh untuk membuat film kepahlawanan pejuang wanita asal Aceh, Tjoet Nja’ Dhien. Nama pejuang ini kemudian digunakan sebagai judul film itu.

Eros bersama kru film dari Jakarta menginap di sebuah hotel di kota Sigli, Pidie. Di situ antara lain, ada aktris Christine Hakim yang akan menjadi pemeran tokoh Tjoet Nja’ Dhien, Slamet Rahardjo Djarot, Pietra Jaya Burnama, dan Rita Zaharah.

Selama berada di Aceh, Eros juga mencari orang-orang lokal yang akan memerankan beberapa tokoh dalam filmnya, salah satunya peran seorang penyair.

Suatu hari, mata Eros terantuk pada seorang lelaki yang tengah membaca puisi. Gerak tubuhnya begitu ekspresif, kelihatan menghayati selama membaca puisi.

Lelaki itu Ibrahim Kadir.

“Mau ikut main film,” kata Eros mengajak lelaki itu.

“Sebagai apa?”

“Penyair. Besok datang ke hotel untuk casting.”

Ibrahim tidak percaya akan diajak bermain film. Selama ini dia hanya bisa membuat puisi, bersyair, mengajar tari, dan sesekali bermain teater. Tapi, apakah bisa main film? Ah, dia ragu.

Setelah pulang ke rumah, Ibrahim hampir melupakan ajakan Eros tadi. Rupanya dia mendapat telepon diminta datang ke hotel untuk casting atau uji peran. Saat itu juga, Ibrahim berangkat tanpa banyak bekal. Istrinya hanya memberi uang sekadar ongkos angkutan.

Di perjalanan Ibrahim tidak yakin apakah diterima, sebab kata Eros ada beberapa orang yang akan diuji untuk peran Penyair. Sampai hotel, dia melihat orang-orang sudah keluar ruangan. Tampaknya, proses casting hampir selesai.

Tapi, Eros sedang menunggunya. Dia meminta Ibrahim memperagakan karakter Penyair seperti tertulis dalam skenario film Tjoet Nja’ Dhien. Tak lama, peragaan itu selesai.

Saat itu Ibrahim tidak diberitahu apakah diterima sebagai pemeran Penyair. Sampai sehari kemudian, dia diundang kru film menghadiri jamuan pesta di rumah dinas gubernur di Banda Aceh. Di sana, Eros akan mengumumkan nama-nama pemeran film Tjoet Nja’ Dhien.

Ibrahim tidak terlalu hirau dengan acara itu. Dia memilih duduk lesehan sambil asyik merokok di halaman pendopo. Tiba-tiba seseorang keluar memanggil-manggil namanya.

“Mana yang namanya Ibrahim.”

“Ya, saya yang namanya Ibrahim.”

“Bapak disuruh masuk.”

Ibrahim bergegas bergabung ke dalam pendopo. Semua orang yang hadir menoleh kepadanya sembari menyungging senyum. Ibrahim malah bingung.

“Ada apa saya disuruh masuk,” katanya dengan polos.

“Bapak terpilih sebagai pemeran Penyair!”

Tokoh penyair sering muncul di bagian akhir film itu. Dengan nyanyian daerah dan syair-syair perjuangan Aceh, si penyair memompa semangat juang pasukan Tjoet Nja’ Dhien sepulang mereka dari medan perang.


IBRAHIM berkenalan dengan sutradara Garin Nugroho pada 1999 atau sebelas tahun setelah film Tjut Nja’ Dhien beredar di bioskop. Garin juga tertarik membuat film dengan tema Aceh, meski tidak tahu temanya soal apa.

Awal perkenalan itu, ketika anak buah Garin mengajak Ibrahim melihat syuting film dokumenter Anak Seribu Pulau di danau Laut Tawar, Takengon. Di sela-sela istirahat syuting, Ibrahim diminta mendendangkan lagu-lagu Gayo, termasuk syair Ratap yang dibuat ketika dia ditahan dalam penjara.

Liriknya sungguh menyayat hati. Diam-diam seorang kru merekam Ibrahim dengan kamera video.

“Mereka menangis setelah mendengar syair itu,” kisah Ibrahim.

Rupanya Garin tertarik mencari tahu kehidupan Ibrahim setelah menonton kaset rekaman itu. Dia melakukan riset mengenai seni didong dan membaca puisi-puisi Ibrahim. Garin makin tergerak membuat film begitu tahu kisah hidup Ibrahim di dalam penjara.

Ibrahim diundang datang ke Jakarta. Selama tiga bulan di sana, Garin mencatat detail kisah hidupnya dan dijadikan skenario film. Garin terenyuh mendengar kisah itu. Ya, dia memutuskan mengangkat kisah itu dalam film berjudul Puisi Tak Terkuburkan.

“Sudah Pakcik, kita langsung bikin film saja,” ujar Garin.

Syuting film seluruhnya berlangsung di kawasan Depok, Jawa Barat, selama enam hari, dan pemain sebagian besar orang-orang Gayo yang tinggal di Jakarta. Alasan mengambil lokasi di luar Aceh, karena situasi di sana sedang dirudung konflik bersenjata. Sebuah studio disulap menjadi penjara, begitu pula pemilihan para pemain dipilih sesuai detail kisah Ibrahim.

“Pemilihan Berliana oleh Garin karena saya pernah lihat perempuan dibunuh yang wajahnya sangat cantik, mirip dia,” kata Ibrahim.

Pemain yang dimaksud itu adalah Berliana Febrianti, seorang aktris yang kerap muncul dalam sinetron-sinetron televisi.

Syuting film Puisi Tak Terkuburkan ternyata menguras emosi Ibrahim, ketimbang saat bermain dalam film Tjoet Nja’ Dhien. Selama enam hari, Garin seperti mengungkit lagi penderitaan Ibrahim, yang sesungguhnya pelan-pelan sudah dia lalui. Itu sebabnya, syuting terpaksa dihentikan karena Ibrahim melolongkan tangisan secara tiba-tiba, atau sebaliknya para pemain yang tiba-tiba menangis mendengar kisah Ibrahim.

“Saking emosionalnya, saya selalu protes kepada Garin kalau ada adegan yang tidak sesuai dengan pengalaman saya di penjara,” kenang Ibrahim.

Setahun kemudian, film Puisi Tak Terkuburkan mengikuti berbagai festival film internasional dengan memakai judul A Poet. Ibrahim terpilih sebagai aktor terbaik dalam Singapore International Film Festival. Penghargaan juga diraih dalam festival film yang diadakan Amnesty International, sebuah lembaga hak asasi manusia di Belanda, pada 2001.

Pada tahun-tahun itu situasi Aceh masih mencekam. Keamanan penduduk terancam oleh konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka atau GAM dengan tentara Indonesia. Kadang, banyak penduduk yang tidak bersalah menjadi korban. Ibrahim berharap film Puisi Tak Terkuburkan memberi pesan perdamaian.

“Apa misi film ini?” tanya seorang aktivis Amnesty International kepada Ibrahim.

Ibrahim lantas berkisah tentang sebuah kehidupan indah sebelum konflik bergejolak di kampungnya.

“Rumahku di kaki bukit. Tiap hari gadis-gadis mencari kayu ke sana. Setelah mereka menimbun belahan-belahan kayu, mereka beristirahat sebentar di kaki bukit sambil mendengar suara angin dan kicau burung. Kadang-kadang mereka bercerita sambil bergutu dan mendendang lagu tentang kekasihnya, ibunya, atau tentang bagaimana hari depannya. Ketika senja mereka pulang ke rumah dengan wajah riang. Sekarang mereka tak bisa lagi ke bukit itu karena sudah ada senjata (konflik). Padahal bukit itu tidak dibeli dari Cina atau Belanda. Bukit yang melahirkan mereka. Ke tempat lahirnya juga, mereka tidak bisa pergi.”

“Jadi saya ingin misi film ini, biarkan gadis-gadis itu bisa kembali ke bukit agar bisa senyum bersama bunga-bunga.”


IBRAHIM lahir pada 1944 di sebuah rumah panggung dekat danau Laut Tawar, Takengon. Dia tidak tahu kapan tanggal dan bulannya. Nama Kadir adalah nama ayahnya.

Sejak kecil dia sudah punya bakat berkesenian, mengikuti jejak Kadir, sebagai seorang pemain tari seudati dan didong.

Didong merupakan seni bertutur dengan nyanyian dan dimainkan oleh banyak orang. Di antara mereka ada satu orang menjadi pengatur irama yang disebut sebagai ceh. Dalam tradisi rakyat Gayo, didong menjadi media menceritakan kebiasaan nenek moyang, membawa pesan humanisme dan kearifan lokal.

Ada puluhan kelompok didong di Tanah Gayo. Setiap ada hajatan kelompok-kelompok itu dipertandingan semalam suntuk. Siapa yang punya syair paling bagus, dialah yang menang.

“Zaman saya kecil, tak sembarang jadi pemain didong. Kalau belum menikah belum boleh jadi anggota kelompok,” ujar Ibrahim.

Ibrahim kecil, oleh teman-teman mainnya, hanya disuruh mencuri ubi atau ayam milik orang lain. Menurut adat masyarakat Gayo pada masa itu, pemilik ubi atau ayam tidak keberatan miliknya dicuri karena anak-anak selalu ikut memelihara sawah dan ladangnya, tanpa harus membayar upah.

“Melalatoa selalu suruh saya mencuri ubi. Kalau tidak, dia akan memukul saya,” kenang Ibrahim sambil terkekeh.

Lelaki yang disebut itu adalah Muhammad Junus Melalatoa, teman akrab Ibrahim. Kelak, Melalatoa dikenal sebagai profesor antropologi Universitas Indonesia. Dia meneliti karya-karya didong para seniman Gayo, termasuk Ibrahim. Penelitian itu telah dibukukan oleh Yayasan Obor Indonesia berjudul Didong Pentas Kreativitas Gayo.

“Karangan-karangan didong pada generasi Ibrahim terasa sentimentil dan romantis,” kata Melalatoa dalam bukunya itu.

Sisi romantis itu diperlihatkan Ibrahim ketika jatuh cinta kepada Rasuna, istrinya, di bangku sekolah dasar. Di bawah bangku, Ibrahim sengaja menyenggolkan kakinya ke betis Rasuna, lalu Rasuna membalas dengan senyum.

“Dia paling cantik di ruangan kelas, makanya saya suka dia,” kenang Ibrahim, tersenyum.

Ibrahim kecil juga belajar menuangkan perasaan-perasaan sentimentil tadi ke dalam lagu. Apalagi, dia punya banyak waktu mengarang setelah tidak diperbolehkan gabung dalam kelompok didong. Karya pertamanya, berjudul Tajuk Dilem dibuat dalam bahasa Gayo, termasuk lirik dan melodinya, ketika dia berusia 10 tahun.

Sebagian lirik lagu itu, dalam bahasa Indonesia artinya kira-kira begini;

Padamu Takengon, aku selalu rindu.
Juga ayah dan ibuku, oh ibu.

Terakhir kupandang Takengon dari bukit Singgah Mata.
Jika aku pergi, oh Ibu dan ayah akan sedih termangu.

Bila matahari meninggi, ayah duduk di meunasah (masjid).
Berfikir kemana hari ini pergi (mencari nafkah). Besokpun kemana.

Oh.. Takengon, aku rindu.
Kapan kita ketemu lagi
Padamu Takengon, rinduku selalu.

Saat saya temui, Ibrahim menyanyikan syair itu dalam melodi bahasa Gayo. Liriknya terdengar menyayat dan mendayu. Mustawalad, seorang teman saya asal Gayo, yang ikut mendengar syair itu terlihat berkaca-kaca.

“Rasanya saya mau nangis. Sejak dulu saya sering dengar syair itu, baru tahu kalau yang bikin dia,” ujar Mustawalad kepada saya, usai mendengar syair itu. Dia merinding.

Tajuk Dilem berkisah tentang keindahan alam Takengon dengan danau Laut Tawar dan pegunungan yang sejuk. Karya ini, 30 tahun kemudian, cukup populer di telinga masyarakat Gayo.

Menurut Ibrahim, syair itu berpesan kepada orang-orang Takengon yang pergi merantau agar tidak melupakan kampung halaman.

“Ingatlah bahwa ada danau yang sangat indah untuk dilihat lagi. Kalau yang merantau itu laki-laki, ingatlah bahwa ada gadis-gadis di sini yang sudah menunggu (dinikahi),” kata Ibrahim, panjang-lebar.

Setidaknya pesan syair itu sudah dijalani Ibrahim sendiri. Ketika berkesempatan belajar seni tari di Institut Kesenian Jakarta, Ibrahim tetap kembali pulang. Dia mempraktekkan ilmunya untuk perkembangan kesenian di Gayo. Dia tidak hirau dengan ajakan teman-temannya agar tinggal di Jakarta.

“Saya rasanya berat berpisah dengan alam Takengon. Kalau dulu hidup di Jakarta, bisa-bisa saya stres karena tidak bisa lagi memancing!”

Ibrahim tergelak keras sambil menunjuk hamparan danau Laut Tawar, yang terlihat dari teras rumahnya.

Sebagai seniman didong, Ibrahim bisa dibilang generasi yang hampir punah. Pemain-pemain didong era sekarang tak ada satupun yang mampu mengarang syair. Mereka hanya bisa mendendang syair di pertandingan didong.

“Ceh-ceh sekarang kalau main didong sesuka hatinya. Irama. Gerak tangan, dan asesoris permainan tidak seragam. Makanya, sekarang didong kurang digemari. Malah, kelompok-kelompok didong sekarang meniru lirik-lirik musik dangdut dan India. Cuma bahasa saja dirubah dalam bahasa Gayo,” kata Ibrahim.

Meski begitu, Ibrahim tidak bisa menolak setiap ceh-ceh didong datang minta dibuatkan syair didong.

“Saya nggak ada beras nih. Kasihlah dulu karangannya,” alasan beberapa ceh kepada Ibrahim.

Ceh-ceh sekarang umumnya tidak punya pekerjaan lain, selain berdidong. Anehnya, kata Ibrahim, seperti menjadi kebiasaan kalau pertunjukkan didong lagi ramai ceh lalu menikah lagi. Jika pertunjukan sedang sepi, mereka bercerai.

Ibrahim sudah berbicara dengan pemerintah Aceh Tengah untuk mengembalikan lagi seni didong sesuai pakemnya. Salah satunya, dengan menggalakkan lomba mengarang syair didong.

“Saya pribadi akan terus menulis syair didong, mungkin sampai ajal menjemput. Saya suka dunia ini. Semua hasil yang saya terima juga karena didong,” kata Ibrahim, tegas.***


*) Hairul Anwar adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh

Tilok Wan Opoh Kerong

Tilok Wan Opoh Kerong
Oleh Mustawalad

SUATU hari di bulan Oktober 1965. Siang itu Ibrahim Kadir berdiri di depan para siswa Sekolah Dasar Arul Gele, Angkop, Aceh Tengah. Dia mengajar mata pelajaran seni musik. Dia mengajak murid-muridnya menyanyikan lagu Indonesia Raya.

“Indonesia… tanah airku … Tanah tumpah darahku…”

Kadir guru yang sederhana. Di usia 20-an, ia sudah mengabdi sebagai guru. Tiap hari ia berangkat mengajar dengan bersandal jepit. Tahun itu, ekonomi Indonesia payah. Kondisi ini menjalar hingga ke daerah-daerah. Gaji dan kehidupan guru amat memperihatinkan. Sejumlah guru bahkan tidak menerima gaji. Berat bagi Kadir untuk sekedar membeli sepasang sepatu.

Selain sebagai guru, Kadir dikenal sebagai penyair oleh masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Dia lahir di desa Kemili, Takengon, tahun 1942. Karena kemampuan ini, dia sering diundang untuk membaca syair di acara-acara tertentu. Kadir juga pernah diundang membaca syair dalam acara yang diadakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh Tengah. Namun, dia lebih tertarik menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).

Di kelas Kadir siang itu, lagu Indonesia Raya masih terdengar.

“Hiduplah… Indonesia Raya…”

Tak lama setelah bait terakhir ini, dari luar kelas seseorang mengetuk pintu. Semua murid diam. Mereka melihat lelaki di depan pintu kelas.

“Pak, keluar dulu!” perintah seorang lelaki di pintu.

“Anak-anak diliburkan saja. Bapak tak perlu ke rumah lagi!” sambung lelaki itu.

“Ke mana saya mau dibawa?” balas Kadir.

“Bapak harus ikut kami. Bapak tak perlu pamit karena kita harus pergi segera,” sahut lelaki itu. Di belakang pria ini ada 14 lelaki lain. Mereka adalah anggota-anggota Wajib Militer Darurat di bawah pimpinan seorang tentara dari Komando Distrik Militer (Kodim) Aceh Tengah. Namanya Kapten Abdul Latief.

Kadir dibawa ke kantor polisi yang berada di Desa Angkop. Malam hari, dia dibawa ke kantor Kodim Aceh Tengah di ibukota Takengon. Di dalam sebuah ruangan, Kadir melihat banyak orang yang telah lebih dulu berada di situ. Kebanyakan dari mereka adalah orang Jawa.

Dalam ruangan ini Kadir tidak lama. Dia segera dijebloskan ke sel tahanan di sebuah penjara di Takengon. Penjara ini terletak di dekat Bioskop Gentala. Sudah ada beberapa orang yang berada dalam sel itu. Kadir dimasukkan ke sel bernomor 25.

“Hari pertama saya masuk sel, saya bertemu dengan tiga orang yang telah duluan berada dalam sel tersebut mereka adalah guru Rama, guru Muhammad Daud Nosari dan satu orang lagi yang saya tidak ingat namanya,” kenang Kadir.

Kadir kenal baik ketiga guru itu. Rama adalah guru Sekolah Dasar Negeri 1 Takengon. Ada singkatan Thd setiap Rama menuliskan nama, Thd. Rama. Tapi Kadir tak pernah tahu apa kepanjangan Thd. Sedangkan Muhammad Nosari adalah guru penilik untuk Sekolah Dasar di Aceh Tengah. Kadir sering berjumpa dengan mereka dalam rapat-rapat guru.

“Mereka adalah atasan saya. Saya mendengar mereka adalah pimpinan PKI di Aceh Tengah,” ungkap kadir.

Di dalam sel, Kadir menyatakan rasa bingungnya kepada Rama dan Nosari.

“Saya tidak tahu mengapa saya dimasukkan ke dalam sel ini,” ujar Kadir kepada keduanya.

“Kami juga tidak tahu mengapa bisa masuk ke sel,” jawab Rama yang diiyakan Nosari.

Di luar ruang sel, warga yang ditahan dalam penjara itu terus bertambah. Suatu kali, Kadir sempat melihat dari sela-sela bilah papan yang renggang ada yang terjadi di sel sebelahnya, sel nomor 24. Sel ini ternyata berisi perempuan-perempuan. Kadir sempat mendengar tangisan bayi yang berasal dari sel tersebut.


PERLAWANAN terhadap kebijakan pemerintahan di Jakarta marak terjadi di sejumlah daerah beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Sebut saja aksi pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta) di Padang dan Manado. Lalu ada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) bergerak meredam perlawanan mereka. Salah satu strateginya adalah memberlakukan Wajib Militer. Di Aceh Tengah, pasukan dari Komando Daerah Militer (Kodam) Diponegoro membentuk pasukan milisi yang diberi nama Wajib Militer Darurat atau yang juga dikenal dengan Wamilda atau WMD. Ini berlangsung antara tahun 1953 sampai 1962.

Keberadaan WMD ini disebutkan dalam Undang Undang Nomor 66 Tahun 1958. Pasal 1 menyebutkan, “Militer-wajib ialah pewajib-militer yang terpilih dan dimasukkan dalam Angkatan Perang untuk melakukan dinas wajib- militer.”

Lalu pasal 36 undang-undang ini menjelaskan, “Dalam keadaan darurat atau keadaan perang dapat diadakan panggilan darurat terhadap semua militer-wajib untuk melakukan dinas wajib-militer dimulai dengan golongan penerimaan yang paling muda dan selanjutnya berturut-turut sesuai dengan urutan usia golongan penerimaan.”

Kemudian, Wajib Militer Darurat ini kembali dipertegas dengan penerbitan Peraturan Pengganti Undang Undang Nomor 39 tahun 1960 tentang Penyaluran Wajib Militer Darurat ke dalam Wajib Militer. Pada pasal 1 ayat 1 peraturan ini disebutkan, “Yang dimaksud dengan Militer Wajib Darurat dalam peraturan ini ialah mereka yang telah dipanggil dan diangkat sebagai Militer Wajib Darurat oleh yang berwajib berdasarkan Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat menurut ketentuan Undang-undang Keadaan Bahaya tahun 1957.”

Anggota milisi ini terdiri dari berbagai unsur masyarakat, termasuk dari partai seperti anggota PNI dan Pemuda Rakyat atau populer disebut PR yang memiliki kaitan secara politik dengan PKI. Tujuan pembentukan milisi ini untuk menumpas aksi pasukan DII/TII yang berada di Aceh Tengah.

Di Aceh, pasukan DI/TII dipimpin Teungku Mohammad Daud Bereu’euh. Dia adalah seorang ulama dan pernah memimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Pada 21 September 1953, Bereu’euh menyatakan Aceh menjadi bagian Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Sekar Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Di Aceh Tengah, pasukan DI/TII dipimpin Tengku Ilyas Leubeu.

Perlawanan Bereu’euh dihadapi presiden Soekarno dengan diplomasi. Beureu’euh setuju menyerah setelah Soekarno menjanjikan Aceh sebagai daerah istimewa. Pada Desember 1962, pasukan DI/TII turun gunung.

Setelah itu pecah peristiwa 1965. Kali ini PKI mendapat serangan balik dari bekas pasukan DI/TII. Sebagian menjadi algojo dalam pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis.


DI lapangan Musara Alun Takengon, Aceh Tengah, seorang tentara bernama Ishak Juarsa memimpin rapat terbuka. Lelaki ini asal Banda Aceh. Di situ Juarsa memberi pidato di hadapan massa yang terdiri anggota polisi, tentara, WMD, dan sejumlah warga. Bulan Oktober 1965 itu, dari Jakarta hingga Aceh, kebencian terhadap PKI memuncak.

“Kikis habis PKI sampai ke akar-akarnya! ” kata Juarsa dengan nada tinggi.

“Kalau dalam sebuah desa ada yang tidak melaporkan, maka desa itu akan dihancurkan!”

Pertemuan itu dilaksanakan pada hari kesepuluh Ibrahim Kadir mendekam di dalam sel tahanan. Dia mendengar kabar tentang pertemuan akbar itu dari orang-orang yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan.

Keesokan hari setelah pertemuan itu, orang-orang yang dituduh pemimpin atau anggota PKI dipanggil keluar dari sel. Pada malam hari penjaga tahanan memanggil satu per satu nama para tahanan.

“Guru Rama! Guru Daud…!”

Tapi, nama Kadir belum disebut-sebut.

“Kami mau dibawa kemana?” Kadir mendengar beberapa orang yang namanya dipanggil bertanya kepada penjaga.

“Kalian akan dipindahkan ke Banda Aceh!” bentak penjaga.

Mereka diangkut dengan truk.

Orang-orang dalam tahanan tidak pernah tahu apa yang terjadi di luar penjara sampai datang beberapa orang baru sebagai tahanan.

“Apa Guru Rama, Guru Daud, dan teman-temannya kemarin ditahan di sini?” tanya tahanan yang baru datang.

“Iya. Betul!” sahut Kadir.

“Mereka semuanya telah menjadi mayat di Gorelen,” balas si penghuni baru. Gorelen adalah nama daerah di pinggir jalan antara Takengon dan Bireuen.

Mendengar cerita itu semua tahanan terkejut. Kadir dan tahanan yang belum dipanggil, akhirnya sadar. Kalimat “ke Banda Aceh” adalah sandi untuk membawa para korban ke tempat eksekusi. Kadir dan tahanan lain mulai ketakutan. Tubuh Kadir menggigil. Dia takut di-Banda Aceh-kan.

Petugas akhirnya memanggil Kadir. Tapi petugas tidak mengajak Kadir pergi “ke Banda Aceh”. Dia juga tidak menjalani proses interogasi. Seperti juga yang lain, Kadir sama sekali tidak menjalani proses hukum lazimnya seseorang yang melakukan kesalahan atau kejahatan. Kadir malah menjadi saksi mata dalam proses eksekusi itu sendiri.


MALAM itu sinar bulan menerangi dataran tinggi Gayo. Hawa dingin menusuk tulang. Di penjara Takengon, penjaga memanggil satu per satu nama dalam daftar tahanan. Mereka yang dipanggil dibawa ke ruangan tersendiri. Penjaga memerintahkan Kadir mengikat para tahanan. Tiap kepala tahanan ditutup karung goni, lalu diangkut ke atas truk Dodge. Kadir ikut bersama mereka. Truk berangkat “ke Banda Aceh”. Sebuah lokasi eksekusi yang sebelumnya hanya didengar Kadir.

Setelah sampai di lokasi, satu demi satu tahanan diturunkan dari truk. Tak jauh dari tempat truk berhenti, Kadir melihat beberapa orang yang berlagak layaknya penjagal. Calon korban dibawa ke dekat tebing kemudian ditembak atau dipancung, lalu dilempar ke jurang. Meski hanya diterangi sinar bulan, Kadir bisa melihat jelas kibasan pedang dan bunyi letusan senjata.

“Seperti sudah menjadi tugas rutin, tiap malam saya mengikat orang-orang yang akan dibunuh dan ikut bersama mereka dalam truk,” ujar Kadir, lirih.

Lebih dari sepuluh kali ia menyaksikan para tahanan yang akan dibantai dari jarak antara lima hingga 15 meter. Kadir dibawa ke tiga lokasi pembantaian yang berbeda: Bur Lintang, Totor Ilang dan Totor Besi.

Bur Lintang adalah nama sebuah tempat yang jaraknya sekitar 21 kilometer dari arah Takengon menuju Blang Kejeren, Aceh Tenggara. Ini kawasan pegunungan yang memiliki tebing curam dan dalam. Kini sebagian kawasan itu menjadi tempat pembuangan akhir sampah. Sedangkan Totor Ilang merupakan sebuah jembatan yang terletak antara desa Simpang Balek dan Blang Mancung, sekitar 11 ke arah utara kota Takengon. Begitu pula Totor Besi. Ini jembatan yang terletak di desa Simpang Teritit jalan yang menghubungkan Takengon dan Bireuen.

Malam-malam selanjutnya kian mencekam. Deru mesin truk yang memasuki halaman penjara, menjadi teror yang mengerikan bagi para tahanan. Para tahanan, juga Kadir, sudah paham, kedatangan truk itu untuk menjemput salah satu atau beberapa orang dari mereka untuk berangkat “ke Banda Aceh”.

Beberapa malam sebelum Kadir dilepas, ia masih menjalankan perintah mengikat para tahanan dan ikut ke lokasi eksekusi. Saat itu giliran seorang perempuan yang membawa anak. Seorang anggota WMD meminta sang ibu agar memberikan bayinya. Sang ibu menolak.

Dor!

Bayi mungil itu tewas saat masih dalam pelukan sang ibu. Peluru menembus hingga ke dada sang ibu. Keduanya terjerembab ke tanah. Mayat keduanya kemudian dilempar ke jurang. Kadir tidak berdaya. Kedua telapak tangannya segera menutup wajahnya. Namun, semua tragedi itu terekam dalam ingatannya.

Peristiwa-peristiwa pembantaian itu dia catat dan dicurahkannya dalam syair. Salah satunya, syair yang berjudul Ratapan.

Bintang bulan cengang menjerit
Memandang tubuh yang terpaku
Ibarat patung tak berkutik
Risau rindu tak berulang


GELOMBANG anti PKI atau komunis menjalar hingga ke desa-desa di Takengon. Suasana kota kecil di dataran tinggi Gayo ini jadi sunyi dan mencekam. Lampu-lampu teplok menerangi rumah-rumah warga. Kesunyian pecah ketika deru truk membelah jalan utama. Deru mesinnya seperti membawa beban yang sangat berat.

Muhammad Iwan Gayo masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Takengon saat itu. Jarak sekolah dan rumahnya hanya 300 meter. Pada malam-malam itu, dia kerap duduk bersama sang ibu, Hajah Bona, di dalam rumah. Rumah mereka tak jauh dari jalan raya.

“Mereka membawa PKI untuk dibunuh,” bisik sang ibu ketika suara truk menjauh. Meski tidak ada orang lain di dalam rumah, sang ibu tetap berbisik-bisik seakan tak ingin ada seekor semut pun mendengar percakapan ibu dan anak itu.

Suatu kali, Iwan Gayo menjadi saksi pembunuhan seorang warga. Namanya Islah. Dia penjaga Masjid Raya Quba, kecamatan Bebesen. Islah adalah anak tiri Tengku Abdul Jalil, seorang ulama yang berpengaruh di tanah Gayo. Tapi Islah dituduh sebagai anggota PKI.

Menurut keterangan Teungku Muhammad Isa Umar, guru di Pendidikan Guru Atas Takengon, Islah bukan penjaga mesjid melainkan tinggal dekat masjid. Anggota polisi Aceh Tengah, kata dia, saat itu menangkap Islah. Dia dituduh telah membakar Masjid Quba Bebesen. Pembakaran terjadi dua bulan sebelum peristiwa Gerakan 30 September, tepatnya pada malam hari 21 Juli 1965. Masjid itu memang terbakar, tapi warga menyangsikan Islah sebagai pelakunya. Tapi polisi menuding Islah biang keladinya. Umar kini menjadi ketua Pembangunan Masjid Raya Quba Bebesen.

“Kedua tangannya diikat ke belakang. Kedua jempolnya diikat dengan rambut perempuan,” kata Iwan, melanjutkan ceritanya.

Semula dia tidak tahu akan ada rencana eksekusi terhadap Islah. Dia baru tahu ketika sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju rumah. Dia mendengar pengumuman dari tentara. Isinya ajakan kepada warga agar datang beramai-ramai ke Masjid Quba sore itu. Karena akan ada rencana eksekusi terhadap orang yang dituduh sebagai anggota PKI.

“Itu diumumkan secara terbuka,” ujar Iwan.

Namun eksekusi tidak jadi dilakukan di sore hari itu. Tentara membunuh Islah pada malam harinya. Mereka mengeksekusi Islah di antara Jalan Kebet ke arah Tan Saril, dekat kota Takengon. Keesokan paginya, bersama sejumlah penduduk desa, Iwan melihat sosok mayat Islah. Lehernya nyaris putus. Kepala Islah tertutup kain sarung. Ususnya terburai dimakan anjing. Saat itu banyak anjing-anjing liar yang kelaparan di kawasan itu.

Beberapa hari setelah eksekusi Islah, warga desa tempat Iwan tinggal kembali heboh. Saat itu warga menemukan sesosok mayat lagi. Iwan Gayo ikut melihat mayat itu. Jenazah itu dikenali sebagai penjual ikan asin yang berdagang di Pasar Takengon. Lelaki itu berasal dari desa Nosar, di pinggiran Danau Laut Tawar. Dia dieksekusi di antara jalan desa Asir Asir dan desa Uning Kirip. Kedua desa ini terletak di tepi sungai yang berhulu di Danau Laut Tawar.

Mayat ketiga adalah lelaki berpeci hitam. Kedua tangannya diikat ke belakang. Iwan mengenali mayat itu. Sebelum menjadi mayat, lelaki itu bersama-sama dengan Iwan dalam perjalanan dari Takengon menuju kecamatan Bintang. Mereka berada dalam satu kapal kayu bersama sejumlah lelaki lainnya. Saat itu, kapal kayu menjadi alat transportasi utama di Danau Laut Tawar.

“Saya ke Bintang dengan kakek. Di dalam kapal, di sebelah kiri juru mudi, duduk seorang laki-laki. Saya mendengar samar-samar dari penumpang di kapal tersebut bahwa dia itu PKI. Kedua tangannya diikat ke belakang,” kisah Iwan Gayo.

Lelaki itu terlihat pucat. Sang kakek menyuruh Iwan agar memberi rokok kepada lelaki itu. Dia kemudian mengambil tembakau dan daun nipah dari tempat rokok milik kakeknya. Setelah dilinting, Iwan segera menyorongkan rokok ke mulut lelaki yang tampak ketakutan itu. Lalu membakarnya.

“Pada saat turun, lelaki itu masih berjalan searah dengan kami dan ketika sampai di desa Cik, kecamatan Bintang kami berpisah. Besoknya saya mendengar lelaki tersebut sudah dibunuh di desa Pulo,” kata Iwan, dengan suara bergetar.

Inen Sur, perempuan asal kecamatan Bintang yang bekerja sebagai guru sekolah dasar, menyaksikan pembunuhan lelaki yang diberi rokok oleh Iwan Gayo. Menurut Inen Sur, pria itu berasal dari Blang Kejeren. Dia ditangkap di desa Weh Ni Pongas, kecamatan Bukit.

“Sebelum dibunuh, lelaki ini mengatakan, ‘Saya bukan PKI! Saya orang miskin! Ada orang yang menyuruh saya tandatangan surat dengan janji kalau saya menandatangani surat itu saya akan dapat tanah,” kata Inen Sur menirukan teriakan lelaki malang itu sebelum meregang nyawa.


AKSI pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI dimulai setelah rapat yang dihadiri oleh anggota Pertahanan Sipil (Hansip) dengan Komandan Kodim Aceh Tengah, Mayor Sabur (belakangan Sabur dibunuh karena terbukti sebagai anggota PKI). Pertemuan itu juga dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Aceh Tengah yang bernama T. Abdullah. Kegiatan ini digelar di Lapangan Simpang Tiga Redelong.

Muhammad Saleh hadir mewakili satuan Hansip. Dia warga desa Pondok Gajah, Kecamatan Bandar, Bener Meriah. Dia orang Jawa. Istrinya dua, dua-duanya asli Gayo. Saleh tinggal di Pondok Gajah sejak masih belia. Kedua orangtuanya meninggal dan dimakamkan di desa ini.

Saleh pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat atau SR yang ada di Takengon. Saat itu, kebanyakan gurunya ikut dalam organisasi Muhammadiyah. Saleh belakangan juga menjadi pendukung dan pengikut setia organisasi keagamaan ini.

Ketika remaja, Saleh menjadi anggota Tentara Angkatan Darat. Pangkat terakhirnya, Prajurit Satu. Dia menjalani dinas ketentaraan sejak 1959. Berkat kedisiplinannya, tiga tahun kemudian Saleh terpilih dalam unit pasukan yang dinamai Combat. Anggota unit ini merupakan serdadu pilihan yang berasal dari beberapa kompi yang ada di Aceh. Anggota pasukan ini dianggap paling siap dan memiliki kemampuan untuk diterjunkan dalam perang di Irian Barat. Pada tahun 1962, pemerintahan Soekarno tengah gencar melakukan Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat dari cengkraman Belanda.

Saleh dan anggota Combat lain di Aceh dilatih di Pegunungan Seulawah, Aceh Besar. Setelah melakukan latihan dan dianggap siap diberangkatkan ke medan tempur, Letnan Manan sebagai kepala pelatih memerintahkan anggota pasukan ini untuk meminta restu orangtua sebagai salah satu syarat sebelum ikut dalam Operasi Mandala. Mereka diberi cuti pulang kampung. Saleh pulang ke Pondok Gajah.

Malang, kedua orangtua Saleh tak merestui niatnya ikut bertempur di pulau di ujung timur Indonesia itu. Setelah melaporkan kabar dari kampung, pemimpinnya memberi dua pilihan: tetap menjadi tentara meski tak dikirim ke Irian Barat atau berhenti sebagai prajurit. Saleh memilih yang terakhir. Latihan yang dia jalani di Seulawah sia-sia jika dia tak ikut berangkat. Tahun itu juga, Saleh memutuskan melepas semua atribut ketentaraan.

Saleh kembali ke Pondok Gajah. Dia memperoleh satu hektare kebun teh dari pemerintah sebagai imbalan. Namun pengalaman kemiliterannya masih terus dia gunakan. Di kecamatan Bandar, Saleh bergabung dalam Hansip. Pangkatnya, wakil komandan peleton. Sedangkan posisi komandan peleton dipegang Ajudan Thaleb. Dia mantan anggota pasukan DII/TII yang kemudian menjadi anggota TNI. Sedangkan di desa Pondok Gajah, Saleh adalah Komandan Hansip. Markasnya di Simpang Tiga Redelong, ibukota kabupatan Bener Meriah sekarang ini.

“Dalam rapat diputuskan untuk melakukan penyelamatan terhadap anggota PKI. Penyelamatan di sini maksudnya pembunuhan terhadap anggota PKI,” Saleh mengungkapkan.

Pertemuan pagi itu memutuskan daerah-daerah yang menjadi prioritas untuk pembersihan. Seperti desa Pondok Gajah, Pondok Baru, Sidodadi, Blang Jorong, Bakaran Batu, dan Blang Pulo. Di desa-desa ini mayoritas penduduknya adalah orang Jawa. Pada malam pertama desa yang akan dibersihkan dari PKI adalah desa Pondok Gajah. Hari kedua desa Pondok Baru. Ketiga desa Sidodadi dan Bakaran Batu. Berikutnya desa Blang Jorong. Desa Blang Pulo terakhir.

Namun korban pertama dari rangkaian pembantaian ini adalah keuchik atau kepala desa Jongok Simpang Tiga bernama Lonos. Desa itu hanya beberapa meter dari tempat pertemuan. Saleh ikut dalam kelompok ini. Selain keuchik, dua warga lainnya, Aman Kar dan Aman Samsiar juga dibunuh. Mereka dibunuh sekitar pukul 10 pagi, setelah rapat bubar.

Kelompok Saleh mendapat tugas membersihkan orang-orang PKI di Pondok Gajah. Siang sebelum pembantaian, Saleh mendatangi orang-orang yang telah ada dalam daftar. Saleh berpesan pada mereka untuk datang malam hari, setelah salat isya, ke desa Kota Makmur. Ini tetangga desa Pondok Gajah. Kepada orang-orang yang didatangi, Saleh berpesan agar mereka ikut melakukan operasi ke desa Samar Kilang.

Malamnya, beberapa orang yang dipanggil Saleh berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Mereka dipanggil satu-satu. Saat itu, Saleh menghitung, ada sekitar 10 orang. Mereka adalah warga desa Pondok Gajah. Salah satunya adalah Mispan, ketua PR di Pondok Gajah. Setelah dipanggil, tangan mereka segera diikat ke belakang. Masing-masing diikat saling berhubugan satu sama lain, seperti ikatan berantai.

Orang-orang yang dituduh terlibat PKI ini dibawa ke sebuah lokasi yang bernama B5, salah satu lokasi perkebunan teh yang ditinggalkan Belanda. Di masa penjajahan Belanda, desa Pondok Gajah, Pondok Baru dan Sidodadi dan desa disekitarnya merupakan areal perkebunan teh. Lokasi B5 berada sekitar empat kilometer ke arah timur dari desa Pondok Gajah. Tepatnya di persimpangan jalan antara desa Teleden dan desa Tanjung Beringin. Di sini terdapat jurang. Di tempat inilah orang-orang yang dibawa Saleh dibantai. Kini kawasan itu telah menjadi areal perkebunan kopi.

Operasi tahap pertama selesai sekitar pukul satu dini hari. Setelah kembali dari tempat itu, Saleh dan beberapa orang lainnya, dibantu dengan petugas Hansip berangkat ke desa Pondok Gajah. Mereka menangkap sepuluh orang lagi yang dituduh sebagai anggota PKI.

Saat itu diperkirakan ada sekitar 20 orang yang terlibat anggota PKI di desa Pondok Gajah, mereka merupakan anggota PR atau Barisan Tani Indonesia (BTI)

Mereka berhasil menangkap 10 orang lagi, di antaranya Wakidi, Nasir, Sarimin, Perono, dan Paimin. Mereka dibantai di sebuah tempat bernama Kubangan Gajah, dekat desa Pondok Gajah. Kubangan ini berbentuk seperti kolam dangkal tapi melebar. Lokasi pembantaian ini sampai sekarang tetap dibiarkan seperti itu dan tidak ditanami apapun. Tempat ini berada di dekat pintu masuk ke Balai Penelitian Kopi Gayo di desa Pondok Gajah.

Pada tahun 1980-an, Saleh mengungkapkan, kerangka mayat orang-orang yang dibantai di bekas kubangan Gajah, Pondok Gajah, sudah dipindahkan ke pekuburan umum desa di perbatasan desa Pondok Gajah dan Pondok Baru. Kuburan ini dipisahkan dengan kuburan masyarakat yang lain. Tanpa ada tanda khusus dan dibiarkan ditumbuhi semak.


SAYA menemui Saleh di rumah bantuan yang dia tempati dengan istri keduanya. Rumah bantuan ini dibangun di atas tanah bekas rumahnya yang dibakar pada awal-awal konflik di Aceh, sekitar tahun 2000. Tembok dan lantai semen bekas rumahnya yang terbakar masih tersisa. Rumah ini tersambung dengan gudang kopi. Halamannya luas, digunakan sebagai tempat menjemur kopi. Saleh adalah salah seorang tauke kopi yang cukup dikenal petani kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Sebelum usahanya terbengkalai akibat konflik, dia bisa mengirim bertruk-truk kopi ke Medan. Kini usianya sudah hampir 70 tahun. Dia hanya sesekali pergi ke kebun kopi di belakang rumahnya.

“PKI pada saat itu, sama dengan pada masa jayanya Partai Golongan Karya (Golkar), mereka ada di mana-mana. Dari tingkat atas sampai tingkat bawah,” kenang Saleh.

“Saat itu di (desa) Pondok Gajah ini, tinggal keluarga saya yang tidak masuk menjadi anggota PKI.”

“Apa alasan Bapak tidak jadi anggota PKI?” tanya saya

“Saya tidak masuk jadi anggota PKI karena pengaruh guru-guru saya sewaktu saya sekolah di Takengon. Rata-rata guru saya adalah Muhammadiyah. Dan dari bacaan saya sewaktu sekolah, saya masih ingat tentang pemberontakan PKI Muso di Madiun tahun 1948. Dan saya tidak masuk menjadi anggota PKI.”

Namun karena begitu kuatnya pengaruh PKI di desa, hampir seluruh warga jadi anggota PKI. Kecuali keluarga Saleh. Akibatnya, dia dan keluarganya dikucilkan dan tidak dibolehkan ikut kegiatan-kegiatan di desa. Pernah suatu kali Saleh nekat tetap mencoba ikut gotong-royong membuka jalan desa di Pondok Gajah. Dari rumah dia membawa cangkul dan berangkat naik sepeda. Di kanan-kiri jalan, Saleh melihat umbul-umbul merah bendera berlambang palu-arit. Tapi begitu tiba di lokasi, dia ditolak oleh anggota PKI. Saleh disuruh pulang.

“Mereka menyuruh saya untuk makan yang enak-enak. Biasanya kalau ada yang menyuruh kita makan yang enak-enak dan orang itu bermusuhan dengan kita, mereka mempunyai tujuan tertentu. Boleh jadi mereka akan membunuh. Ini seperti pesan, kamu mau mati dan selagi sempat, makanlah yang enak-enak,” terang Saleh.

Tidak hanya itu. Timan pernah diusir saat mendatangi calon istrinya di desa Sidodadi. Timan adalah abang kandung Saleh. Saat itu Saleh ikut mengantar Timan untuk melaksanakan akad nikah. Jarak dari Pondok Gajah ke Sidodadi sekitar empat kilometer. Desa itu salah satu basis PKI di Aceh Tengah. Tapi rombongan keluarga Saleh ditolak. Alasannya, keluarga Saleh bukan anggota PKI.

“Dengan segala upaya kami tetap berusaha. Tetapi tetap tidak diterima.”

Pernikahan tetap harus dilangsungkan. Saleh menghubungi Imam Mukim Kute Teras yang membawahi desa Sidodadi. Imam Mukim itu adalah ketua Muhammadiyah tingkat kecamatan. Setelah itu, dengan bantuan Imam Mukim, akad nikah Timan bisa dilangsungkan.

Permasalahan masih belum selesai. Ketika akan melaksanakan hajatan di rumah mempelai keluarga Saleh, sebagian besar warga desa Pondok Gajah tak mau membantu mereka. Hajatan baru bisa dilakukan setelah Saleh meminta bantuan teman-temannya dari satuan Hansip di kecamatan.

“PKI pada saat itu seperti Golkar pada masa jayanya. Semua tingkatan ada orang PKI. Di sekolah, unsur pemuda, petani dan dalam struktur pemerintahan, militer maupun Sipil,” ungkap Saleh.

Saat Golkar berjaya di bawah rezim Orde Baru, Saleh tidak pernah mendukung partai itu. Istri Saleh bekerja sebagai guru. Pada masa itu, korps guru menjadi mesin politik yang jadi lumbung suara bagi Golkar. Suami-istri itu wajib memilih partai itu. Tapi Saleh selalu berkelit. Menjelang Pemilihan Umum, Saleh terkadang harus sembunyi di gua-gua atau di kawasan Dedesen, di tepi Danau Laut Tawar. Dia cemas karena kerap mendapat ancaman dari aparat.

Dedesen adalah tempat penangkapan ikan depik, ikan yang banyak terdapat Danau Laut Tawar. Tempat ini banyak terdapat di tepi danau, biasanya dibangun di antara pertemuan air dari pegunungan dan air danau. Bentuknya persegi, dan dikelilingi papan. Luasnya antara empat hingga lima meter persegi. Bagian atasnya ditutupi dedaunan, bagian dasarnya adalah dasar danau. Tempat itu menjadi tempat ikan depik bertelur.


AWAL Februari 2008, saya mengunjungi rumah Iwan Gayo di desa Paya Tumpi, Takengon, Aceh Tengah. Lelaki ini pernah bekerja sebagai wartawan. Dia juga pernah mendapat penghargaan Adinegoro, hadiah tertinggi dalam jurnalis yang diberikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1981.

Namanya melambung lewat sejumlah bukunya yang saya kenal saat duduk di bangku SMP Negeri Janarata Kecamatan Bandar. Iwan Gayo menulis Buku Pintar Seri Senior dan Buku Pintar Seri Junior. Buku-buku itu lumayan tebal. Isinya macam ensiklopedia. Sekarang dia menjadi kepala Hubungan Masyarakat Komite Percepatan Pembentukan Provinisi Aceh Leuser Antara (KP3 ALA) yang berjuang untuk pembentukan Provinsi baru yang terpisah dari Provinsi Aceh.

Iwan menceritakan kepada saya tentang kondisi pada masa-sama kelam di Aceh Tengah. Tahun 1965 menjadi masa yang suram bagi penduduk di Aceh Tengah. Terutama guru-guru. Pendidikan bagi anak-anak sekolah jadi terabaikan. Iwan menyebut sejumlah gurunya yang hilang.

“Ibu Hamidah, Ibu Sambani, Pak Guru Rama, Pak Daud, dan Ibu Nurlaeli yang suaminya sopir truk,” ujar Iwan, mengenang.

Pak Guru Daud dan Pak Guru Rama sempat ditahan bersama Ibrahim Kadir dalam penjara di Takengon. Iwan Gayo belakangan tahu bahwa Guru Thd. Rama adalah Ketua PKI Aceh Tengah.

“Saya pernah melihat Pak Guru Daud di penjara Takengon,” katanya.

Dinding penjara itu terbuat dari kayu yang sudah lapuk. Lubang-lubang besar di sana-sini. Di antara lubang-lubang itu Iwan Gayo mengintip kegiatan yang dilakukan para tahanan dalam penjara.

“Kebiasaan tahanan pada siang hari adalah berjemur di balik jendela yang berjeruji. Ada dua atau tiga orang yang berjemur secara bergantian,” kata Iwan.

Suatu kali, dia dilarang Pak Guru Daud mengintip-intip dari celah-celah dinding papan.

“Sana kamu, anak kecil!” Iwan menirukan ucapan Pak Guru Daud.

“Beberapa hari lagi kita akan menang!” kata Pak Guru Daud, lagi.

Iwan tak mengerti apa maksud Pak Guru Daud dengan kata-kata “kita akan menang”. Belakangan, dia hanya menebak-nebak, bahwa itu mungkin berhubungan dengan angkatan kelima PKI, yaitu petani dan nelayan yang dipersenjatai. Namun, Iwan merasa amat sedih. Dia jadi tidak bisa belajar. Apalagi ketika mengingat guru perempuan bernama Nurlaeli. Dia amat terpukul.

“Ibu Guru Nurlaeli saat itu baru melahirkan. Dia ditangkap, dibawa ke penjara dengan bayinya. Kemudian hilang, sampai sekarang tidak tahu kuburnya. Mungkin sudah dibunuh,” kata Iwan kepada saya.

Saya coba menghubungkan kesaksian Iwan ini dengan apa yang diungkapkan Ibrahim Kadir. Di antara malam-malam di mana Kadir ditahan dalam penjara, dia menyaksikan seorang perempuan dan bayinya yang tewas ditembak anggota WMD di bibir jurang. Barangkali, perempuan malang yang dimaksud Kadir adalah Ibu Guru Nurlaeli bersama bayinya yang dikenal Iwan.


IBRAHIM Kadir seakan kehilangan harapan ketika menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang yang sebelumnya ditahan di penjara itu. Saat itu, ketika dia sendiri tak tahu bagaimana nasibnya, Kadir menemukan ide dan berharap untuk segera dibunuh.

Ketika itu dengan kondisi badan yang masih lelah karena baru pulang dari mengantar para tahanan yang dieksekusi, dia menuju jendela sel tahanan. Sambil memandang ke luar dan memegang jeruji besi jendela penjara dia memulai aksinya, menyanyikan syair yang diciptakannya dengan keras-keras.

“Saya berharap, yang paling terganggu adalah sipir penjara, dan mereka semua marah dan langsung menembak saya di tempat. Sehingga kalau saya mati, ibu, istri, anak serta keluarga saya yang lain akan tahu di mana mayat saya. Teman-teman satu sel yang belum dibunuh yang mendengar syair tersebut, semuanya menangis,” kenang Kadir.

Syair itu dilantunkan dalam bahasa Gayo. Terdiri dari 23 Bait dan 92 baris. Dia memberi judul syair tersebut Sebuku, kurang lebih berarti ratapan.

Tanpa dia sadari, saat itu ada seorang serdadu yang merekam ratapannya. Keesokan harinya dari Gedung Panggung Hiburan Rakyat Gentala yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat Kadir ditahan, dari pengeras suara yang digunakan, para tahanan mendengar sayup-sayup syair yang dibawakan Kadir pada malam sebelumnnya. Pada saat syair tersebut diperdengarkan, di tempat tersebut sedang berlangsung pertemuan tokoh-tokoh partai, tokoh-tokoh tersebut berasal dari PNI, Masyumi, PSII dan partai lainnya. Kecuali dari PKI.

“Bukankah itu syair yang kamu nyanyikan tadi malam?” tanya teman satu selnya waktu itu. Dan Kadir mengiyakan.

Belakangan syair itu malah menyelamatkan Kadir dari eksekusi. Dalam pertemuan tokoh-tokoh partai tersebut, ada yang tertarik dengan syair itu. Dan menanyakan siapa yang melantunkannya. Setelah ditelusuri, si penanya mendapat jawaban: Ibrahim Kadir. Beberapa tokoh PNI dalam pertemuan tersebut kontan marah. Mereka mengatakan bahwa Kadir bukan anggota PKI, melainkan anggota PNI.

“Saya tidak ada hubungannya dengan PKI dan memang benar saya anggota PNI,” kisah Kadir kepada saya.

Selang beberapa hari dari kejadian tersebut, Kadir dipanggil ke kantor Kodim Aceh Tengah. Dia dimasukkan ke sebuah ruangan. Di situ ada meja panjang yang ditutupi taplak meja hijau. Di belakangnya, di atas kursi duduk bersisian Kepala Kejaksaan Takengon, Bupati Aceh Tengah Aman Sani, Komandan Kodim, dan dua orang hakim. Mereka mengatakan, “Maaf, guru tidak bersalah.”

“Saya marah sekali,” ujar Kadir.

“Hampir saja saya tumbuk mereka. Saya tanya mengapa mereka tidak menanyakan itu pada awal-awal penangkapan saya. Mereka hanya minta maaf, dan mereka mengatakan mendapat informasi yang salah, kemudian saya dibebaskan,” tambahnya

Tahun 2000, syair-syair Sebuku yang menyelamatkan Kadir menjadi ide cerita film Puisi Tak Terkuburkan. Film itu digarap sutradara Garin Nugroho. Di situ, Kadir berperan sebagai pemeran utama. Tahun 2001, Kadir meraih penghargaan sebagai pemeran pria terbaik dalam Festival Film Internasional Singapore. Lewat film itu, masa kelam di dataran Gayo pelan-pelan diketahui orang banyak.


ULF Sundhaussen menulis tragedi kemanusiaan di Indonesia ini dalam bukunya yang berjudul The Road to Power: Indonesian Military Politics, 1945-1967. Di situ dia mengatakan, “Salah satu daerah yang paling awal melakukan pembantaian terhadap anggota PKI adalah Aceh.”

Korban yang ditimbulkan oleh operasi ini sangat besar. Guru-guru dan orang pandai yang seharusnya bisa memajukan pendidikan untuk anak-anak Gayo dibantai dan jumlah korban diperkirakan mencapai 2500. orang. Sementara jumlah penduduk Aceh Tengah pada saat itu hanya 25.000 orang.

Banyak warga yang ditangkap dan dibantai karena hanya dapat dari informasi yang tidak jelas. Informasi ini lebih banyak berdasarkan fitnah. Biasanya pelapor mempunyai dendam pribadi terhadap korban. Seperti urusan batas tanah, warisan dan urusan pribadi lainnya.

Tak ada verifikasi, dengan hanya mendapatkan informasi dari seseorang, yang dituduh dapat langsung di-PKI-kan dan selanjutnya dibantai. Banyak kasus seperti ini ditemukan, tak ada tempat untuk pembelaan bagi para korban. Untuk menggambarkan banyaknya korban akibat fitnahan seperti ini muncul istilah “tilok wan opoh kerong”. Artinya kurang lebih “menunjuk dari balik kain sarung”. Suatu tindakan yang menggambarkan seseorang yang melakukan fitnah untuk berbagai tujuan yang menyebabkan dibunuhnya orang yang dimaksud.

Yang banyak menjadi korban pada masa itu, selain masyarakat sipil dan kepala, adalah guru. Tidak jelas mengapa banyak guru yang menjadi korban. Entah karena pemimpin PKI di Aceh Tengah, Thd. Rama, adalah guru sehingga menyebabkan guru banyak dilibatkan, atau entah karena sebab lain. Ataukah memang para guru ini tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) non-Vaksentral yang berafiliasi kepada PKI.

Menurut Daud Beuramat, guru sekolah dasar pada tahun 1965 dan kini telah pensiun, saat itu banyak guru di Aceh Tengah yang tidak mengenal PGRI non-Vaksentral. Tapi mengetahui PGRI hanya berdasarkan nama pemimpinnya, seperti PGRI Subandrio dan PGRI M.E. Subiadinata.

“PGRI Non-Vaksentral dipimpin oleh Subandrio. Non Vaksentral artinya tidak tergabung dalam suatu wadah atau federasi,” kata Daud kepada saya.

Sedangkan Saleh menceritakan, ketika akan dibantai banyak sekali korban yang mengaku tak tahu apa itu PKI. Korban, kata dia, umumnya menganggap PKI adalah Persatuan Ketoprak Isaq. Isaq adalah nama suatu tempat di kabupaten Aceh Tengah yang letaknya di jalan menuju Aceh Tenggara. Atau karena hanya menandatangani sesuatu yang isinya tidak diketahui oleh korban, karena korban kebanyakan buta huruf.

“Jadi korban dibodoh-bodohi dan ditipu,” kata dia.

Untuk menggambarkan masyarakat yang ditipu, dituduh terlibat PKI, lalu dibantai, orang Gayo selalu mengingatkan temannya dengan mengatakan, “Enti sembarang teken, kahe kona geleh!” Artinya jangan sembarang tanda tangan, nanti kena potong!

Ada lagi satu istilah yang berasal akibat maraknya pembantaian yang terjadi pada saat itu. Jika seseorang melihat sekelompok orang naik di atas truk terbuka, maka kata-kata yang muncul dari orang yang melihat adalah “Oya male i geleh!” sambil menggerakan tangan di leher seperti isyarat mau memotong. Kalimat itu artinya, hayo kamu mau dibunuh! Kata-kata itu masih sering diucapkan sampai sekarang jika melihat orang berada di atas truk, walaupun hanya bermaksud untuk gurauan. Trauma itu ternyata belum hilang.

Orang-orang tua yang mengalami masa tahun 1965 sering mengatakan, situasi saat itu lebih kejam ketimbang konflik tahun 2000. Tidak ada bunyi letusan senjata, tetapi mayat ada di mana-mana.

“Situasi pada saat itu lebih mengerikan dari konflik yang terjadi akibat pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka),” ujar Saleh.

Siklus kekerasan berulang, pada penerapan Daerah Operasi Militer di Aceh pada tahun 1989-1998. Beberapa anak-anak korban pembantaian tahun 1965 menjadi Tenaga Pembantu Operasi (TPO) TNI di Aceh Tengah. Saat konflik senjata makin meningkat di tahun 2000 sampai 2004, TNI kembali membentuk milisi-milisi pendukung operasi militer di Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Anggota-anggota milisi ini banyak berasal dari desa Pondok Gajah, Pondok Kresek, Pondok Sayur, Sidodadi dan Blang Pulo. Desa-desa yang disebutkan tersebut dulunya merupakan daerah yang paling banyak penduduknya dibantai karena dituduh terlibat PKI. Dan anggota-anggota GAM sebagai lawan TNI/Polri di Aceh Tengah dan Bener Meriah banyak yang mempunyai hubungan dengan mantan anggota DI/TII. Hubungan itu seperti hubungan kekerabatan langsung dari orang tua atau kakek yang menjadi anggota DII/TII.

Saleh melihat sendiri unsur balas dendam oleh anggota DI/TII yang menjadi algojo dan bergabung dalam kelompoknya ketika melakukan pembersihan terhadap anggota PKI. Lelaki itu bernama Aman Budi. Saat hendak mengeksekusi, sambil mengayunkan pedang ke leher korban, ia mengatakan, “Mampus kau! Dulu ketika kami di hutan, kami sangat menderita karena perbuatan kamu.”

Pembersihan terhadap anggota PKI di Aceh Tengah, menurut Saleh, berlangsung dalam waktu enam sampai 10 hari. Setelah itu aparat TNI melarang segala penangkapan dan pembunuhan.

“Jika tidak ada perintah bahwa operasi harus diberhentikan, bakal habis keluarga yang dituduh sebagai anggota PKI,” ungkap Saleh.

Sementara keluarga korban yang dituduh PKI, selain menderita trauma juga merasa malu karena mendapat hukuman sosial dikucilkan dan dianggap orang anti Tuhan. Tidak percaya pada Tuhan merupakan dosa yang sangat besar bagi orang Gayo yang beragama Islam. Selain itu, keluarga-keluarga ini tidak bisa menjadi pegawai negeri dan meminta bantuan kredit ke bank.

Namun Iwan Gayo menyaksikan hal yang sebaliknya. Mereka yang dibunuh umumnya justru orang-orang yang saleh.

“Siapa bilang mereka tidak sembahyang? Semua guru dan orang-orang yang saya kenal dan dibunuh karena dituduh punya hubungan dengan PKI adalah orang yang taat beragama, mereka sembahyang,” tukasnya.

Meski begitu, pada masa merebaknya konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia, orang Gayo lebih memilih untuk dikatakan PKI dari pada dikatakan GAM. Sebab, saat itu mengaku PKI tidak berakibat hilangnnya nyawa. Tapi jika dituduh GAM bisa-bisa nyawa melayang.

Konflik yang berakibat hilangnya kemerdekaan individu, rasa aman, nyawa dan harta, telah menumbuhkan suatu keinginan yamg kuat dari penduduk Gayo untuk hidup damai. Tapi mereka juga ingin pelaku kejahatan kemanusiaan itu dihukum. Kata-kata bijak Gayo mengatakan, ”Agih si belem, genap si nge munge.” Artinya Sudah cukup, jangan terulang lagi!


*) Mustawalad adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service. Dia menjabat Kepala Bidang Internal Kontras (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Aceh.

Majalah pantau