Aceh Menggugat Aceh

Aceh Yang Menggugat Aceh
Oleh Eko Rusdianto

ARISDI DUDUK termenung di kursi merah dalam aula. Ia memakai baju coklat, berkantong depan. Celana pendek hitam. Ia tak menunjukan ekspresi seperti ratusan temannya: berteriak dan bergembira. Pandangannya lurus saja ke depan. Beberapa menit berlalu, ia mengutak-atik telepon genggamnya. Mengetik SMS. Entah pada siapa ditujukan.

Pukul 22.00, acara hiburan di aula itu dimulai. Beberapa kepala desa dan kepala mukim duduk melepas tawa, yang bisa nyanyi menyumbangkan suara. Ketika seorang dari mereka melenggok di atas panggung, yang lain bersorak, tertawa, atau bertepuk tangan. Riuh. Geuchik yang berdendang itu berjalan ke bibir panggung, membungkuk, dengan nada tinggi, ia menutup matanya, menikmati syair lagu.

Setelah lagu usai ia berteriak, “Hidup ALA-ABAS.”

“Insya Alllah,” sambut puluhan geuchik di bawah panggung, seraya mengacungkan tangan ke atas udara.

Arisdi hanya tersenyum kecil. Ia berdiri meninggalkan ruangan. Saya tetap memperhatikannya. Ia duduk di bangku depan aula. Mengeluarkan sebatang rokok lalu memantiknya dengan korek gas.

Arisdi adalah geuchik Bintang Kekelip, Kecamatan Atu Lintang, Kabupaten Aceh Tengah. Ada 79 keluarga di kampungnya. Ia datang ke Jakarta Jumat pagi, 14 Maret 2008, dari bandar udara Polonia Medan.

Setibanya di wisma Sekolah Luar Biasa Bagian A Tunanetra, Jalan Pertanian Raya, Lebak Bulus, Arisdi ternyata tak dapat memejamkan matanya meskipun kelelahan. Ia sangat gelisah. Waktu mengubah Jumat menjadi Sabtu. Enam rekan lain sudah terlelap. Satu kamar tujuh orang. Bila semua geuchik sudah hadir maka satu kamar itu akan bertambah penghuni menjadi 12-14 orang. Di atas kasur, ia terus berpikir. “Nda tahu lah, nda tenang saja waktu itu,” ingatnya pada saya.

Pagi pun tiba, sekitar pukul 10.00 telepon geggamnya berdering. Ia mengangkat. “Maaf Pak Geuchik, sebenarnya tak ingin mengganggu konsentrasi Bapak, tapi saya harus kabarkan,” kata M. Apit, komandan regu kepolisian Atu Lintang.

“Ada apa pak,” jawab Arisdi.

“Rumah bapak dibakar, tadi malam!”

Menurut laporan Apit, Jumat malam itu, warga Bintang Kekelip sedang terpulas. Tiba-tiba rumah Arsidi telah menjadi abu. Rata dengan tanah. Kejadian cepat sekali. Tak ada yang melihat kejadian. “Itulah saya juga agak kecewa dengan warga, sebab sebelum kesini saya bilang, ‘Tolong kampung dijaga.’ Lalu mereka menjawab, ‘Iya Pak.’ Tapi ternyata ada kejadian seperti ini,” Arisdi menerawang jauh.

Tak ada yang bisa diselamatkan. Sekarang kekayaannya hanya pada pakaian yang dibawa ke Jakarta, sekitar lima potong. “Itulah kekayaan saya,” ujarnya lirih.

Saat kejadian itu, istrinya menginap di rumah orang tuanya. “Jadi istri dan anak saya tak apa-apa. Itu saja sudah cukup senang dan bersyukur,” kata Arsidi. Ada lagi yang menyentuhnya ketika bicara dengan anaknya, yang berusia tiga tahun, via telepon. “Ama (ayah) baju saya sudah habis terbakar api,” kata anaknya.

“Itu saya tak sanggup dengarnya,” tutur Arsidi sambil menundukkan kepala, dengan nada pelan nyaris tak terdengar. Saya diam mendengarnya.


SENIN PAGI, Iwan Gayo, juru bicara pembentukan provinsi ALA berdiri di atas panggung aula. Ia memakai kaca mata hitam. Kulitnya hitam. Baju coklat, celana coklat, topi coklat.

Pertemuan ini membahas isi tuntutan. Iwan menawarkan tiga tuntutan kepada DPR Indonesia. Pertama, ia minta pemerintah Indonesia secepatnya mengesahkan RUU pembentukan provinsi ALA. Kedua, meminta pemerintah Indonesia untuk menganggarkan kompensasi terhadap penderitaan panjang warga Gayo, baik akibat dari perang antara Indonesia dan Darul Islam (1953-1962) serta Indonesia dan Gerakan Acheh Merdeka (1976-2005). Ketiga, meminta pemerintah Indonesia membebaskan penderitaan rakyat Aceh pedalaman atas tuduhan ilegal logging.

Spanduk-spanduk terpasang di berbagai sudut dinding. Isinya tentang seruan pemekaran.

“ALA & ABAS = NKRI”

“Pemekaran provinsi–yes!!! pemekaran negara-no!!!”

“Hentikan penculikan bersenjata dan intimidasi terhadap tokoh-tokoh ALA”

“ALA-ABAS untuk Indonesia.”

Gaya bicara Iwan berapi-api. Penuh semangat. Ia membawa sebuah tongkat dari besi putih, pegangannya berbentuk mulut ular mengeluarkan lidah, di bagian tertentu sudah hitam, mungkin menunjukkan umurnya. Tongkat kerajaan Linge. Saat pertemuan usai, ia memperkenalkan tongkat itu pada beberapa geuchik. “Saya perkirakan tongkat ini pada masa kejayaan Hindu atau Budha, Allahu Alam. Tapi tentu jauh sebelum islam masuk,” katanya.

Beberapa geuchik menambahkan dan mengkritisi isi tuntutan itu. Tapi ketika seorang berdiri dari tengah ruangan, semua terdiam. Nada bicaranya pasti. Menurutnya, semua tuntutan itu terlalu luas dan samar. Mereka bisa menimbulkan masalah baru. Ia takut. Menurutnya harus direvisi, yang utama adalah pemekaran. Itu saja.

“Nama bapak siapa? Geuchik darimana pak,” kata Iwan, menyelidik, memotong.

“Saya bukan geuchik, tapi relawan dari Syiah Utama,” jawabnya.

“Nama Bapak,”

“Dasmika.”

“Dasmika ….” Iwan mengulang nama itu, dan menulisnya pada kertas.

“Kalau begitu Bapak duduk di samping. Maaf selain geuchik dan perwakilan geuchik tak boleh bicara. Dan Bapak tak punya hak untuk bicara. Kami bisa tuduh Bapak sebagai provakator,” kata Iwa, suaranya tegas.

Suasana ruangan sekejab menjadi tenang. Hanya ada satu suara. Iwan Gayo.

Hanya Iwan yang datang dengan berbagai tuntutan. Dari 430 geuchik yang hadir, sebagian besar menuntut pemekaran. Itu saja. “Pokoknya pemekaran,” kata Rata Bahagia, geuchik dari Bener Meriah, bersama empat temannya.

“Kami tak tahu yang lain. Hanya ada satu permintaan, pemekaran. Setelah itu pulang. Tapi selama belum disahkan kami tidak akan pulang. Itu sudah resiko,” ujar Abdul Rahman, geuchik Merah Munyang.

Iwan Gayo masih terus mengoceh. Ia marah dengan kehadiran orang selain geuchik. “Sebenarnya saya mau marah, tapi tak enak sama geuchik-geuchik,” katanya. Selain itu ia menguraikan, jika tak ada sedikit pun maksudnya untuk bermain dalam wilayah politik. Perjuangannya bukan demi sesuatu imbalan.

“Saya nda mau jadi gubernur Pak. Saya mau jadi imam, demi Allah, demi Tuhan, saya mau jadi imam saja,” katanya.


PUKUL 12.00, pertemuan itu selesai. Iwan menyantap semangkuk mie ayam dan segelas es cendol. Tongkat besi itu dibiarkannya menggeletak di atas meja. Saya bertanya kepada Iwan kemungkinan geuchik menginap. “Yes, kami akan manda di sana (DPR),” katanya.

“Bukankah SBY tidak menyetujui adanya pemekaran?” saya tanya.

“Saya katakan SBY, tak berani dia, karena Aceh dalam pantauan Uni Eropa, internasional. Kalau SBY mekarkan, maka bisa saja ini akan menghambat perdamaian,” ujarnya.

“Bukankah ini yang ditakutkan?” saya tanya.

“Saya nda takut, karena kita ini bagian dari RI, UU 32 tahun 2004, bahwa pemekaran itu tak terkecuali hanya pada Aceh. Jadi, kita tak takut siapa-siapa. Kita bukan anti-GAM, tapi kita menghargai perdamaian. Kita hormati wali nangroeh, adat istiadat, agama, kita hormati. Jadi tak akan pernah kami menjadi penghianat untuk MoU. Dalam MoU tidak ada juga larangan untuk pengembangan, bahkan di pasal 5 UU pemerintah Aceh, ada disebut-sebut tentang pemekaran.”

Iwan kembali menikmati mie ayamnya. Keringat membasahi kepalanya yang botak, diusapnya dengan tangan. Tiba-tiba Firman Bintang, koordinator transportasi, mendekatinya, “Bang saya sudah tak pegang uang.”

“Loh?”

“Begini, Bang Tagor” --Tagor Abubakar, bupati bener Meriah—“udah kirim pertama 5 juta dan kemarin 10 juta. Sekarang sudah habis. Itu hanya untuk beli solar. Dia bilang ‘Kau mintalah di Abangmu (Iwan Gayo).’ Jadi saya tanya Abang,” kata Firman Bintang.

“Jadi kurangnya berapa?”

“Abang hitung aja sendiri. Gaji sopir kan setiap hari 2,5 (250,000). Sekarang sudah menungggak empat hari. Dikalikan aja delapan bus.”

“Ok. Tapi kau tanya juga si Tagor, ‘Bagaimana dengan geuchik dari Bener Meriah?’ Mereka kan belum diajak jalan-jalan. Yang lain kan sudah?”


SEKITAR pukul 13.00 saya ke warung di samping wisma sekolah luar biasa. Saya memesan kopi. Seorang geuchik berjalan dengan cepat. “Mbak beli Rinso,” katanya pada penjual. Ia mangambil tiga sachet Rinso kecil harga seribuan. “Mau apa?” geuchik yang lain bertanya.

“Mau mencuci,”

“Tidak usah. Tidak kering. Besok saja. Kan ke DPR,”

Dia duduk di meja tempat saya bersama dua temannya. Mereka terus bercerita, “Walapun nanti sudah mekar, tapi selanjutnya ini masih belum jelas,” kata seorang dari mereka. Saya tanya nama mereka.

“Tak usahlah tulis nama. Kalau mau tulis cerita saja. Tapi nama nda usah ya.”


SELASA pukul 10.15. Delapan bus Dedi Jaya yang mengangkut 430 geuchik Aceh pedalaman melaju. Perlahan masuk dalam lingkup macetnya Jakarta. Saya ikut dalam rombongan ini di bus kelima. Dalam bus udara menjadi panas dan pengap. Beberapa geuchik membuka bajunya. Mereka kegerahan. Tiba-tiba bus menorobos traffic light. “Kita ini seperti presiden terkecil, jadi bisa lah terobos lampu merah,” kata seorang geuchik.

Namun sebelum berangkat mereka melantunkan salawat. Songkok hitam mereka dibalut bendera Merah Putih. Setiap orang membawa satu bendera dengan tiang pipa dari plastik.

Sebelum berangkat, bersama dua orang temannya, Rusdi geuchik Paringkel, kecamatan Banda, kabupaten Bener Meriah duduk dibangku depan aula. Saya menawarinya rokok. Saya bertanya padanya apa perwakilan dari ABAS sudah ada. Ia tak menjawab. Raut wajahnya terlihat bingung.

Ia bertanya, “ABAS itu apa.”

“Bapak tidak tahu ABAS,” kataku.

Sejurus kemudian, temannya menjelaskan jika ABAS adalah satu daerah yang juga meminta pemekaran sama dengan ALA.

“Jadi ABAS itu Aceh Barat Selatan,” kata geuchik yang lain menjelaskan.

“Saya tahunya hanya ALA,” jawab Rusdi.

ALA atau Aceh Leuser Antara meliputi kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan kota Subulussalam. Sedangkan ABAS atau Aceh Barat Selatan mencakup kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue.

Setengah jam kemudian bus itu sampai di depan gedung DPR. Para geuchik tertahan di luar gedung. Mereka tak diizinkan masuk. Iwan Gayo, dikerumuni wartawan. Penampilannya tak berubah. Hanya saja coklat pakaiannya lebih tua. Ia tersenyum puas. Ia senang publikasi. Dalam lagu bahasa Gayo, namanya disebut-sebut. “Haji Iwan Gayo...,” begitu namanya dilantunkan dalam irama.

Sejenak kemudian, di depan pintu gerbang DPR, didong digelar. Kesenian khas Gayo. Sembilan geuchik duduk bersila melingkar di atas karpet merah. Satu orang sebagai pelantun lagu, yang lain memukul bantal kecil hitam, dilekatkan di tangan. Mereka serempak bergoyang ke kiri dan kanan. Sesekali kepala mereka bertemu di tengah lingkaran. Lagunya tentang pemekaran, “Suatu masa ALA akan tersenyum…,” begitu sepengggal syairnya. Atau, “Haji Iwan Gayo membawa pesan ke seluruh dunia….”

Pukul 14.20 keinginan masuk ke lingkungan DPR terkabul. Mereka diterima tiga anggota DPD dari Aceh, Adnan NS, Mediati Hafni Hanum, dan Malik Raden, dalam tiga gelombang. Setiap sesi 50 orang. Para geuchik ini berjalan berderetan. Atribut bendera merah putih di peci. Bendera lengan dilepas. Di gedung Nusantara V, salah satu gedung di Senayan, mereka memasuki sebuah ruangan kecil.

Pertemuan yang dingin. Tuntutan mereka, dari tiga butir berubah jadi lima hal. “Sebegitu zalimnya para petugas. Kok bendera tidak boleh dibawa untuk menghadap anggota DPD yang terhormat. Saya kira itu pelanggaran. Yang tidak boleh itu dinjak-injak pak, tapi kalau disandang di mahkota di kepala, itu hak dan protokolernya seperti itu. Saya kira itu jelas membuktikan jika kita bagian dari NKRI,” kata Iwan Gayo.

Iwan bertanya kepada 50 yang masuk gelombang pertama, “Yang Aceh mana?”

Tak ada yang angkat tangan. “Yang Jawa mana?”

Seorang geuchik bernama Tukiran mengangkat tangan.

Iwan menekankan dia bukan orang rasialis. Cuma menekankan bahwa rombongan ini beragam. Ada Gayo, Aceh dan Jawa. Ada 56 geuchik keturunan Jawa, campuran antara keturunan trasmigran dan perantau, dalam rombongan ini.

“Inilah kami Pak, yang hadir di depan Bapak, yang sepakat dengan apapun yang Bapak mau. Mati pun kami sudah siap,” tegas Hafni Hanum.

“Kami sangat bersyukur karena Bapak-bapak dan Ibu-ibu ini datang kan bawa aspirasi dari masyarakat warga di sana. Apalagi kepala desa. Artinya, Bapak dan Ibu telah membantu tugas kami itu. Nah kalau kami datang satu-satu, ke tiap desa menanyakan apa aspirasi, yang perlu kami perjuangkan, itu kan cape sekali,” lanjut Hafni.

Geuchik yang berkumpul mendengarnya dengan seksama. Raut wajah mereka menunjukkan kelelahan. Di luar pagar DPR, mereka diguyur hujan selama satu jam lebih. Nyaris tak ada tempat berlindung. Pakaian mereka kering di badan.

“Tapi DPD hanya diberikan wewenang, hanya mengusul dan mempertimbangkan, hanya dua kekuatan. Mengusul dan mempertimbangkan,” terang Adnan.

Adnan juga mencontohkan jika DPD itu seperti sebuah kekuatan yang sangat kecil. Seperti singa yang gagah berani, tapi ompong. Tapi untuk merealisasikan pemekaran ALA, itu bukan hal yang mustahil. Sebab ada beberapa daerah yang muncul, hanya dari RUU, seperti Banten, Kepulauan Riau, Bangka dan Sulawesi Barat.

Hingga pertemuan usai, kepastian akan penandatanganan pemekaran provinsi ALA belum menemui titik kepastian. Ancaman akan bermalam di DPR dan pencopotan lencana, stempel, dan pangkat kepala desa tak dilakukan. Saya bertanya pada Iwan Gayo, kemungkinan geuchik bermalam di gedung DPR. “Kayaknya akan sulit,” jawabnya.

“Saya tak melihat ada wartawan tadi di dalam,” sambungnya.

“Tadi ada Indosiar dan Bali TV,” kata saya.

“Saya kira nda ada. Sebab ini harus diberitakan.”


SEBENTAR lagi malam menyelimuti Jakarta. Mega Satria baru selesai mandi. Ia sibuk melayani para geuchik dari Aceh sebagai koordinator umum penjemputan. Ia juga yang menyiapkan tempat penginapan pada mereka. “Ini spontanitas panggilan nurani, itu aja,” katanya.

Di Jakarta, Mega adalah pengawas Sekolah Luar Biasa, yang kebetulan sebagai putra daerah Gayo. “Itu akses kita sebagai pengawas. Tentunya itu dari hasil tanaman-tanaman saya. Dan ini buahnya,” jelasnya.

Saya bertanya bagaimana dengan isu bubarnya perdamaian Aceh bila pemekaran ini jalan. Ia tak mau menjawab. “Anda ini kan pers, jadi kami harus harus hati-hati jangan sampai salah ngomong. Iya kan? Jadi kami harus menunggu tokoh kami Haji Muhammad Iwan Gayo,” sambungnya.

Namun, koordinator pemuda Komite Persiapan Pembentukan ALA, Zam Zam Mubarrok menjawabnya. “Pemekaran itu harga mati, tapi harga pasti untuk Aceh.”

“Dengan memekarkan ALA maka tugas NAD akan lebih ringan. Nah itu bahasa kita, bukannya perpecahan tapi meringankan bebannya Irwandi Yusuf,” jelasnya.

Irwandi Yusuf, seorang dosen Universitas Syiah Kuala dan tokoh GAM, adalah gubernur Aceh sekarang. Irwandi tak menyetujui adanya pemekaran di Aceh. Ia anggap isu pemekaran ini hanya permainan elit politik dan melanggar MoU Helsinki.

Zam Zam Mubarrok mengatakan, “Sebenarnya konflik di Aceh terjadi karena kesenjangan. Miskomunikasi. Secara garis besar, Aceh merasa dianaktirikan oleh Republik dan secara khusus ALA merasa dianaktirikan provinsi. Justru karena adanya pemekaran ini konflik akan mudah diatasi. Jangan samakan basisnya GAM, sama dengan kita. Beda!”

“Tidak ada alasan karena adanya pemekaran, maka akan muncul konflik. Kita tidak pernah mengajak untuk perang. Tapi apabila mereka mengajak perang, kita tidak diam. Dengan siapa saja yang akan mengacaukan keamanan. Jika pemekaran tidak terlaksana maka kita akan siap mengajukan ini ke PBB. Karena aspirasi pemekaran ini lahir sebelum adanya MoU Helsinki,” Zam berpanjang lebar.

“Kami setuju dengan perdamaian. Tapi kami tak setuju GAM. Mereka kan mau pisah (dengan Indonesia). Kami tidak, hanya minta pemekaran,” kata Kamaluddin dari Kampung Akal, kecamatan Atu Lintang.

Menurut Zam, “GAM masih punya senjata. Dimana perdamaian itu? Ya ga?”

Zam membacakan pesan singkat dari Nasir Jamil, mantan wartawan Serambi dan politikus Partai Keadilan Sejahtera, juga anggota DPR. “Kami bilang sama dia GAM melanggar perdamaian,” kata Zam.

Balasan Nasir, “Pimpinan GAM juga tidak bisa mengontrol anak buahnya di lapangan.”

“Itu artinya dalam tubuh GAM pun ada perpecahan,” jelas Zam kembali.

“Kalau Aceh mekar, Irwandi akan mengantongi nilai kursi 2,1 persen, tapi kalau tidak mekar 4,2 persen rakyat Aceh. ‘Dia ogah jadi gubernur dengan itu.’ Sementara dia tak sanggup mengurusnya, jalan-jalan. Kapasitas ada, tapi kemampuan fisik dan jangkau pikirnya tidak sampai ke pedalaman,” tutur Iwan Gayo.

Pukul 18.00, rombongan geuchik tiba dari studi banding. Mereka mengunjungi Taman Buah Mekar Sari dan sehari sebelumnya mereka berkunjung ke Monumen Nasional. Saya bertanya kenapa studi banding. “Mereka ingin melihat tanaman di sana, dan mempelajari cara tanamnya. Penghasilan utama di ALA kan ladang,” kata Zam.

“Seperti jalan-jalan juga lah,” lanjutnya.

Pukul 19.15 kepala desa berkumpul di ruang makan. Menu makannya cukup baik, ada kari ayam, sop ayam, ikan, dan sebuah toples besar berisi kerupuk merah. Mereka mengantri dengan rapi. Beberapa orang memakai sarung dengan kaos kutang, atau hanya celana pendek. Ada juga yang tak memakai sendal. Mereka makan dengan lahap. “Ayo makan dulu,” Zam menawari saya.

Tumpahan kuah kari menempel di lantai dan meja makan. Di samping ruangan, bunyi piring saling bersentuhan terdengar jelas. Beberapa perempuan dengan sigap membilas.

Sekitar pukul 22.00 gelombang ketiga datang. Ada 90 geuchik. Sambil membawa tas dan koper, mereka langsung menuju ruang makan. Sementara geuchik lainnya menikmati hiburan lagu sesama geuchik.

Arisdi ada di sana. Di atas bangku taman depan aula itu, saya menghabiskan malam dengannya dan Kamaluddin. Tiba-tiba ia kehabisan rokok. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri dan berlalu. Namun, beberapa menit setelahnya ia datang membawa dua bungkus rokok. “Mas, wartawan itu banyak uang ya,” tiba-tiba Arisdi bertanya.

“Akh, tidak juga, buktinya saya tak punya uang,”

Tiba-tiba dengan cekatan ia merapatkan tangannya ke kantong bajuku. Tangannya berisi selembar Rp50 ribu. Saya kaget. Hati saya bergetar keras. Lembaran itu saya kembalikan. Ia tak mau. “Saya ini anggap Mas sebagai teman,” katanya.

“Saya tak bisa menerima ini,” jawab saya.

Ia kemudian membuat jarak dari tempat duduk kami. Jelas, Arisdi tak mau uang itu dikembalikan.

Uang itu saya pegang. Kemudian berdiri. Saya mengajaknya minum kopi. Tapi malam itu tak ada kopi. Kami pun minum Coca cola. Empat kaleng. Sebungkus rokok Marlboro. Saya memakai uang itu. Kembaliannya saya berikan lagi. “Tak usah dikembalikan lah,” katanya.

Saya bermalam ditempat para geuchik. Saya tidur di musallah. Kembalian uang itu tak mampu membuat mata terpejam. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 04.00. Beberapa jam ke depan akan terang. Pagi pun tiba, dan saya belum sedikit pun memejamkan mata. Pagi-pagi saya mencari Zam. “Saya minta tolong ini uangnya pak Arisdi. Geuchik yang rumahnya terbakar,” kata saya.

"Ini uang apa?”

“Uang kembaliannya, tadi malam dia lupa ambil,” kata saya.

“Oh, iya.”

Kemudian saya berjalan keluar mencari angkutan umum jurusan Blok-M.


*) Eko Rusdianto kontributor Pantau Aceh feature service di Jakarta, kelahiran Palopo, meliput kedatangan para geuchik di Jakarta selama empat hari di Lebak Bulus, termasuk menginap semalam. Ia mewawancarai sekitar 30 orang dalam rombongan ini.

Tidak ada komentar: