Gua Dan Ceruk

Gua Dan Ceruk Hunian Awal Di Tanah Gayo

SEJARAH kehidupan manusia dengan kebudayaannya di suatu daerah berbeda dengan lainnya, hal ini erat kaitannya dengan sisa kebudayaan masa lalu, atau memang wilayah itu tidak memiliki pembabakan masa yang lengkap dalam arti tidak pernah ada aktivitas atau dihuni pada masa tertentu.

Namun sejarah kehidupan manusia itu mengalami evolusi dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Dalam perjalanannya, berbagai unsur budaya mempengaruhi kebudayaan suatu daerah sehingga bentuk dan ragam kebudayaan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan dan juga masyarakatnya.

Demikian pula dengan Aceh, yang memiliki budaya sangat tinggi, paling tidak dari masuknya Islam sekitar abad 13 Masehi hingga sekarang. Jauh sebelum itu berbagai unsur budaya telah masuk ke wilayah Aceh, yang tentunya mempengaruhi berbagai corak budaya di wilayah ini. Sebut saja budaya Hoabinh dengan tinggalannya berbagai bentuk dan teknologi alat batu yang khas; Dongson, dengan teknologi logam perunggu, serta Hindu/Budha yang memberi warna kehidupan tersendiri bagi masyarakat Aceh.

Masih banyak yang berpikir bahwa kebudayaan yang mereka miliki adalah produk yang telah ada, padahal proses perkembangannya begitu rumit. Lihat saja bagaimana masyarakat mengetahui akan kebudayaan daerahnya, Takengon misalnya. Mereka cenderung mengenal kebudayaannya sebatas pada apa yang dilaksanakan saat ini. Sebagian masyarakat mengerti bagaimana perjuangan kelompok budaya baru dalam hal membawa Islam memasuki wilayah Gayo, yang mendapat banyak kesulitan dalam penyebarannya, atau bagaimana para pedagang asing yang mencoba memasuki wilayah Gayo untuk dapat berdagang komoditi logam (emas) langsung dengan masyarakat Gayo, namun mendapatkan hambatan dari pedagang pesisir. Semua aspek budaya yang melingkupi budaya kita sekarang ini hendaknya perlu direkonstruksi selengkap mungkin sebagai upaya lebih mengenal jatidiri budaya dan manusia pendukungnya.

Gua dalam kacamata Gayo

Pada masyarakat Gayo berbagai gua (loyang) mendapatkan tempat yang sangat strategis di tengah masyarakat. Paling tidak gua-gua yang ada sekarang dijadikan salah satu objek wisata selain Danau Laut Tawar. Adapun gua-gua itu di antaranya Loyang Puteri Pukes, Loyang Koro dan Loyang Datu.

Dalam folklor tempatan gua-gua tersebut memiliki berbagai nilai dan norma bahkan penggambaran kehidupan ekonomi masyarakatnya. Penggambaran tersebut kemungkinan erat kaitannya dengan fungsi gua di masa lalu atau paling tidak gua memiliki fungsi sebagai tempat hunian (seperti penggambaran folklor Putri Pukes yang tinggal di gua), atau gua berfungsi ekonomis (seperti folklor Loyang Koro, sebagai tempat perlintasan kerbau) mengingat sebagian aktivitas kehidupan berlangsung di dalam gua.

Mengingat folklor dapat berkembang dari masa ke masa sehingga memungkinkan penuturnya menambahkan dan mengurangi (mengilustrasikan) sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pemahamannya. Pada masyarakat tempatan cerita yang ada pada gua dianggap sesuatu hal yang dulunya benar-benar terjadi sehingga penonjolan cerita menjadi hal yang diutamakan bagi penjaga gua dalam upaya memberikan penjelasan bagi pengunjungnya.

Data Arkeologis
Survei Balai Arkeologi Medan, belum lama ini di gua-gua di Takengon yang sekaligus melakukan pengamatan di gua-gua yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa salah satu gua yaitu Loyang Putri Pukes masih menyisakan sisa-sisa hunian masa lalu. Adapun tinggalan itu berupa batu yang cekung pada bagian tengahnya yang menampakann bahwa batu itu digunakan sebagai landasan untuk menghancurkan bahan makanan. Jenis batu semacam itu sering ditemukan pada gua-gua yang dihuni manusia prasejarah atau juga banyak ditemukan pada tumpukan kulit kerang (bukit remis) yang merupakan sisa makanan manusia prasejarah di pesisir timur Pulau Sumatera.

Dari deretan perbukitan yang membentang hingga ke Loyang Putri Pukes yang jaraknya berkisar 1.500 meter dari loyang itu atau 2 km dari Kota Takengon, tim menemukan ceruk yang cukup ideal bagi hunian manusia parsejarah. Ceruk yang membenteng sepanjang 100 meter itu tidak hanya dekat dengan danau tetapi cukup tinggi dari permukaan tanah sekitarnya, sehingga ceruk tersebut benar-benar aman dari gangguan binatang buas. Lebar halaman ceruk berkisar 5 meter dengan kondisi datar dan di depannya merupakan tebing yang terjal dengan ketinggian sekitar 2 hingga 4 meter dari permukaan jalan.

Pada singkapan-singkapan di tebing ceruk itu ditemukan pecahan-pecahan gerabah dengan berbagai ukuran dan hiasan. Adapun hiasan gerabah yang ditemukan didominasi oleh ornamen dengan bentuk jala. Sedangkan yang lainnya berupa alat serpih dari batuan kuarsa susu dan beberapa fragmen tulang binatang. Hiasan jala semacam itu erat kaitannya dengan kehidupan masyarakatnya mengingat hiasan semacam itu banyak ditemukan di daerah-daerah pesisir yang artinya erat dengan aktivitas nelayan. Jadi memungkinkan bahwa manusia yang tinggal di ceruk-ceruk tersebut hidupnya banyak melakukan aktivitas menangkap ikan di danau yang jaraknya berkisar 100 meter dari mulut ceruk.

Kalau kita kaitkan dengan temuan alat serpih berbahan batu tersebut yang umumnya ditemukan pada situs-situs gua pada masa mesolitik memberi indikasi bahwa ceruk itu dihuni dari masa mesolitik hingga ke masa neolitik. Kejelasan akan kapan masa itu berlangsung atau kapan ceruk itu dihuni masih memerlukan penelitian dengan penggalian yang diikuti dengan analisa karbon. Kalau dibandingkan dengan temuan di bukit kerang (bukit remis) di pesisir timur Pulau Sumatera (diantaranya di Kabupaten Aceh Tamiang), dimana budaya gerabah itu berlangsung 3.000 tahun yang lalu sedangkan alat serpih itu umumnya memiliki masa yang lebih tua dari itu. Jadi ceruk itu menyimpan data kebudayaan yang penting bagi masyarakat Gayo yang perlu mendapatkan perhatian.

Waspada

Tidak ada komentar: