Puisi Tak Terkuburkan


Puisi Pelangi Darah

Sutradara: Garin Nugroho
Pemain : Ibrahim Kadir, El manik, Berliana



Mata pria itu terpejam. Pikirannya mengembara ke masa 34 tahun silam. Ke penjara kota Takengon, Gayo, Aceh Utara. Di sanalah ia dulu mendekam selama 22 hari sebagai tahanan politik. Menjadi saksi penganiayaan dan pembantaian manusia. "Saya takut, sedih, dan berharap bisa keluar dari sana," katanya, sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Dengan suara bergetar dan wajah sayu, ia mengisahkan kilas balik yang pernah terhampar di depan matanya. "Tiap hari saya melihat orang menjerit-jerit diseret ke truk, dibawa ke perbukitan dekat penjara, lalu dieksekusi," katanya. Pada 11 Oktober 1965, pria itu, Ibrahim Kadir, ditangkap oleh petugas keamanan.

Tanpa diberitahu kesalahannya, Ibrahim Kadir dijebloskan ke dalam penjara. Tidak ada pemeriksaan pendahuluan, apalagi proses peradilan. Satu hal yang akhirnya diketahuinya, ia dituduh terlibat Gerakan 30 September. Tiga pekan kemudian, guru yang juga ceh - seniman tradisi lisan didong - ini dikeluarkan dari penjara.

Dalam surat pembebasannya, bertanggal 31 Desember 1965, tercantum singkat: penahanannya adalah sebuah kekeliruan. "Dalam hati saya memberontak, tapi tak bisa berbuat apa-apa," kata pria yang kini bermukim di Takengon itu. "Seorang petugas berdalih, kalau dulu tidak ditangkap, mungkin saya sudah dibunuh massa di luar," tuturnya.

Selama dalam penahanan itulah Ibrahim Kadir menyaksikan, satu per satu teman sepenjaranya mendapat giliran dieksekusi. Ia sendiri tak diperlakukan buruk. Sebab, sewaktu diseret, ia sempat berdebat dengan petugas. Ia berkeras tak terlibat dalam gerakan itu. Para petugas akhirnya paham, ia memang tak terlibat. "Tapi, mereka belum mau melepas saya," katanya.

Namun, ia telanjur menjadi saksi banyak kejadian yang membangkitkan bulu kuduk. "Saya melihat bertruk-truk manusia, laki-laki dan perempuan, diangkut ke penjara," tutur ayah sembilan anak, kelahiran 2 Agustus 1942 di Desa Kemili, Kecamatan Bebesan, Takengon, Aceh Tengah, itu. "Setiap hari, silih berganti, masuk-keluar tahanan untuk dibantai."

Suatu kali ia menyaksikan seorang wanita berteriak histeris, diseret-seret petugas untuk dinaikkan ke dalam truk. Wanita itu berkeras membawa anaknya, yang berumur kurang dari setahun. Berkat bantuan temannya, wanita itu berhasil membawa sang buah hati. Namun, upaya kerasnya hanya berbuah kematian. Ibu dan sang bayi ditembak habis.

Para petugas yang menembak, menurut Ibrahim Kadir, bukan tentara. Melainkan orang-orang bekas Wajib Militer Darurat (WMD). "Mereka ini dulu yang ditugaskan untuk menumpas Pemberontakan DI/TII," katanya. "Mungkin juga ada orang-orang baru yang sudah dilatih bekas-bekas WMD tadi." Dari sekian pembantaian, kejadian malam terakhir paling mengusik jiwanya.

Malam itu, dari jendela kamar tahanan, ia menyaksikan seorang gadis dibunuh. "Ia sangat cantik," Ibrahim Kadir mengenang. "Saya mengenal gadis itu di truk, sewaktu sama-sama diangkut ke penjara. Tapi, saya tak tahu namanya." Menurut Ibrahim Kadir, sedianya gadis itu akan dihukum pancung. Tapi, ia memohon agar ditembak saja.

"Kalau saya dibunuh, berikan selendang ini pada ibu saya," demikian permohonan terakhir gadis malang itu. Lalu... dor! Darahnya muncrat. Kebetulan, di latar belakang sedang ada api menyala. "Darah gadis yang muncrat itu kelihatan bagaikan pelangi," katanya. Gadis itu roboh. Selendangnya melambai ditiup angin. Ibrahim Kadir terkulai lemas.

Sepanjang malam itu ia tak bisa tidur. Pemandangan yang baru disaksikannya itu sangat mengguncang jiwanya. Ia lalu mencipta sebuah tembang: O, sahabatku/bila dari jauh kau lihat asap dapurku/bila dari jarak yang paling sepi kau tatap beranda rumahku/pelataran sepi tak lagi disapu/kenang aku, wahai sahabatku....

Delapan bulan setelah kejadian itu, jaksa yang menyeret si gadis bunuh diri. Teuku Abdullah, nama jaksa itu, menembak jaksa kepala sebelum menembak kepalanya sendiri. Ia ketakutan. Sebab, setelah diselidiki, ternyata ia sendirilah yang PKI. "Waktu itu, ia sudah dipindahkan ke Lhokseumawe," kata Ibrahim Kadir.

Segala pengalaman di penjara itu kemudian direkam Ibrahim Kadir dalam seuntai puisi, Ratapan. Puisi tentang seorang yang meratap, memohon, mengiba, mendamba; kepada ibu, alam, teman, penguasa, juga kepada Tuhan, mengadukan bencana yang menimpa. Puisi itulah, kemudian, yang "diterjemahkan" sutradara muda Garin Nugroho ke dalam film terbarunya, Puisi yang Tak Terkuburkan.

Film hitam putih bergaya studio ini merupakan refleksi berbagai persoalan sosial politik, hukum, bahasa kekerasan, tindak kekejaman, dan cinta dari sudut kemanusiaan. Ibrahim Kadir memainkan dirinya sendiri dalam film itu. Pria yang pernah ikut main dalam film Tjoet Nya' Dien ini tampil bersama El Manik, Piet Burnama, Amak Baldjun, Jose Rizal Manua, dan Berliana.

Tidak ada komentar: